SUKABUMIUPDATE.com - Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Hariadi Kartodihardjo mengkritik Rancangan Undang-undang atau RUU Pertanahan. Hariadi menilai masih banyak norma-norma bermasalah dalam draf RUU tersebut, salah satunya membuka peluang korupsi berupa state capture corruption.
"State capture corruption itu korupsi yang bukan langsung seperti suap, tetapi membuat pasal di undang-undang yang intinya dengan pasal seperti itu bisa menguntungkan kelompok tertentu," kata Hariadi kepada Tempo, Ahad malam, 22 September 2019.
Hariadi mencontohkan beberapa pasal yang menurutnya berpotensi membuka peluang korupsi yang diatur negara itu. Pertama adalah ketentuan pemutihan bagi pihak-pihak yang menguasai fisik tanah melebihi haknya. RUU Pertanahan, kata dia, mempertahankan pasal yang menghapus pelanggaran hukum terhadap pengusaha yang menguasai fisik melebihi haknya.
Ketentuan yang dimaksud ini tertuang dalam Pasal 26 draf RUU Pertanahan per tanggal 9 September. Pasal 26 ayat (29) menyebutkan, dalam hal pemegang hak guna usaha menguasai fisik melebihi luasan pemberian haknya maka status tanahnya hapus dan menjadi tanah yang dikuasai negara yang penggunaan dan pemanfaatannya diatur oleh menteri.
"Di lapangan banyak HGU (Hak Guna Usaha) kebun sawit misalnya, yang luasannya melebihi dari haknya," kata Hariadi.
Berikutnya, Hariadi melanjutkan, RUU Pertanahan juga akan memberi kewenangan yang besar untuk Kementerian ATR dalam menjalankan informasi pertanahan yang dicanangkan. Informasi tunggal itu menyangkut tanah, wilayah, dan kawasan, termasuk pulau-pulau kecil dan pesisir.
Hariadi juga menyinggung bagaimana Kementerian Agraria dan Tata Ruang selama ini tak membuka data HGU padahal sudah diperintahkan oleh Komisi Informasi Pusat dan Mahkamah Agung. Menurut dia, wewenang yang teramat besar ini berpotensi memunculkan penyalahgunaan.
"Kementerian ATR selama ini tidak pernah membuka HGU, lalu nanti menguasai informasi tunggal. Kekuasaan tunggal seperti ini berpotensi sekali untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak diinginkan," ucapnya.
Dalam drafnya, RUU Pertanahan memang tampak ingin menyembunyikan data kepemilikan hak atas tanah. Pasal 46 ayat (9) RUU Pertanahan menyebut bahwa daftar nama pemilik hak atas tanah dan warkah menjadi informasi publik yang dikecualikan untuk diakses oleh masyarakat. Informasi tersebut hanya dapat diberikan kepada pemegang hak dan penegak hukum dalam pelaksanaan tugasnya atau pihak yang diberikan kewenangan oleh UU.
Padahal Fores Watch Indonesia (FWI) pernah menggugat soal hak guna usaha (HGU) ke Komisi Informasi Publik pada Desember 2015. Mereka menggugat Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk membuka data HGU di Kalimantan.
KIP pun menyatakan data HGU sebagai informasi publik yang terbuka dan tersedia setiap saat. KIP menyatakan HGU bukan merupakan data pribadi karena merupakan hak mengusahakan tanah yang penguasaannya pun ada pada negara.
Menurut KIP, data yang harus tersedia dalam informasi HGU itu mencakup nama pemegang HGU, tempat atau lokasi, luas areal HGU yang diberikan, dan peta areal HGU yang dilengkapi titik koordinat.
Kementerian ATR mengajukan keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Kalah di PTUN, Kementerian ATR mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam amar putusannya, MA juga menolak permohonan Kementerian ATR.
Manajer Advokasi dan Kampanye Forest Watch Indonesia Mufti Bari menyebut pasal pengecualian daftar nama pemilik hak tanah dalam RUU Pertanahan itu sebagai langkah mundur yang dilakukan Kementerian ATR. Dia menilai Kementerian ATR justru hendak membuat RUU yang bertentangan dengan putusan Mahkamah itu.
"Sudah putusan MA, tapi kenapa justru malah diperkuat itu sebagai data tertutup. Artinya RUU Pertanahan sekarang jelas menyalahi peraturan dan putusan MA," kata Mufti kepada Tempo, Kamis, 19 September 2019.
SUMBER: TEMPO.CO