SUKABUMIUPDATE.com - Dosen Universitas Paramadina Novriantoni Kahar menilai arah kelompok populisme Islam dalam pemilihan presiden atau Pilpres 2019 belum ideal. Sejauh yang diperjuangkan sebetulnya adalah hasil desakan-desakan pragmatisme.
"Karena politik Indonesia hanya ada dua blok saat ini, antara anda jadi cebong atau jadi kampret," kata Novriantoni dalam diskusi Membaca Arah Populisme Islam di Pilpres 2019 di D Hotel, Jakarta, Sabtu, 26 Januari 2019.
Novriantoni mengatakan idealnya adalah arah populisme Islam dalam Pilpres 2019 itu membangun kekuatan ketiga. Arah populisme Islam mestinya tidak didominasi satu kekuatan atau komando saja. Mereka seharusnya bisa membangun kriteria-kriteria ideal sendiri dan memperjuangkan aspirasi itu ketimbang memihak salah satu kelompok.
Tetapi, kata Novriantoni, yang terjadi saat ini populisme Islam di Indonesia justru terpolarisasi. "Antara kelompok-kelompok yang punya aspirasi ganti presiden dan punya aspirasi 2019 Jokowi lagi," katanya.
Dia mencontohkan, salah satu kelompok Islam populis, Hizbut Tahrir Indonesia sudah jelas aspirasinya yaitu tidak suka dengan demokrasi. Mestinya, kata Novriantoni, HTI membuat blok ketiga yang mendorong kepentingan umat mereka. Namun, faktanya HTI kini ikut dalam politik elektoral dan jelas arah dukungannya ke salah satu pasangan calon presiden.
Menurut Novriantoni, belum idealnya arah kelompok populisme Islam di Indonesia terjadi karena terombang ambing pragmatisme politik. Di sisi lain, tuntutan yang diperjuangkan kelompok populisme Islam di Indonesia juga masih bersifat imajiner dan tidak substansial.
Ia mengambil contoh berkumpulnya massa Islam pada aksi 212 di Jakarta. "Bukan satu tuntutan perubahan yang real. Tapi itu adalah tuntutan untuk memenuhi kebutuhan akan politik identitasnya, representasi mereka, mewakili perlawanan terhadap ketersinggungan," kata dia.
Novriantoni mengatakan, isu-isu yang substansial tentang perbaikan kelompok marjinal di Jakarta, perbaikan infrastruktur, perbaikan pelayanan birokrasi, dan kontrol masyarakat yang ketat menjadi nista. "Menjadi tidak berarti dengan adanya politik perkauman antara anda bersama penista atau anda bersama lawannya. Aksi massa itu, emosi massa dibakar untuk memperjuangkan sesuatu yang tidak substansial," ucapnya.
Ia pun membandingkan kondisi tersebut dengan Mesir. Di sana, kelompok intelektual berafiliasi dengan Ikhwanul Muslim dan membentuk kelompok konstitusionalisme. Kelompok tersebut sudah tidak mempersoalkan konstitusi Mesir yang terbuka. Mereka, kata Novriantoni, tak lagi menuntut khilafah dan formalisasi syariah Islam. Tetapi lebih konkrit berjuang di level grass root untuk meningkatkan kehidupan ekonomi dan sosial mereka.
"Bagus sekali. Pasca islamisme itu adalah semacam islamisme yang sadar diri. Islamisme yang tidak ingin memecah kehidupan berbangsa, tapi menjadi problem solver bagi kehidupan berbangsa," kata dia.
Sumber: Tempo