SUKABUMIUPDATE.com - Minimnya anggaran mitigasi bencana yang angkanya menurun dari tahun ke tahun disebut-sebut sebagai penyebab kinerja mitigasi dan penanggulangan bencana alam tak optimal.
Salah satu lembaga terkait urusan kebencanaan yang mengeluhkan minimnya anggaran tersebut adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, menyatakan, anggaran yang tersedia untuk biaya potensi bencana di seluruh Indonesia secara umum masih terbatas.
Bahkan pada 2019, kata Sutopo, alokasi anggaran untuk BNPB berkurang dari Rp 746 miliar menjadi Rp 610 miliar. “Dana yang sifatnya rutin atau masuk Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran itu mengalami penurunan," ujarnya, Rabu, 26 Desember 2018.
Sutopo menjelaskan, penurunan anggaran itu juga dialami berbagai lembaga terkait, seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas. "Padahal untuk kebutuhan mitigasi atau prabencana mengambil dari situ."
Meski demikian, anggaran cadangan penanggulangan bencana yang biasanya digunakan sebagai dana siap pakai kondisi darurat atau pascabencana terus meningkat beberapa tahun terakhir. “Dulu sekitar Rp 4 triliun, sekarang jadi Rp 6,5 triliun,” kata Sutopo.
Saat ini, Sutopo melanjutkan, belum ada ketentuan mengenai standar alokasi anggaran minimal yang harus disisihkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk keperluan kebencanaan. Di sektor pendidikan, misalnya, standar alokasi anggarannya mencapai minimal 20 persen dari total anggaran.
Menurut Sutopo, kebutuhan mitigasi prabencana idealnya membutuhkan alokasi minimal 1 persen dari APBN dan anggaran daerah. “Sekarang masih jauh dari itu,” ucapnya.
Setiap tahun, BNPB telah menghitung dan mengajukan kebutuhan anggaran, termasuk untuk mitigasi bencana. Namun persetujuan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tak sesuai dengan harapan. “Untuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah juga demikian, yang dialokasikan pemda hanya 0,002 persen dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah),” tutur Sutopo.
Minimnya anggaran, kata dia, otomatis berdampak pada kinerja mitigasi dan penanggulangan bencana yang belum optimal. Sutopo mencontohkan, 22 alat pendeteksi tsunami atau buoy yang ada di perairan Indonesia sudah tak lagi beroperasi sejak 2012. “Penyebabnya, biaya pemeliharaan dan operasi terbatas, juga adanya aksi vandalisme."
Selain buoy, masih ada sejumlah sistem peringatan lain yang dibutuhkan, seperti jaringan seismograf dan pemodelan mutakhir lain, termasuk alat pendeteksi tsunami akibat gejala vulkanik yang selama ini belum dimiliki Indonesia. “Idealnya, semua komponen itu tersedia dari hulu ke hilir, tapi ini tentu butuh pendanaan yang besar,” katanya.
Hal senada diungkapkan Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono. “Bahkan untuk memelihara alat yang ada saja enggak ada,” ujarnya. Menurut Rahmat, dari setiap anggaran yang akhirnya disetujui itu tidak pernah sesuai dengan kebutuhan yang diusulkan.
Rahmat mengatakan lembaganya mengapresiasi instruksi Presiden Joko Widodo untuk membeli dan menyiapkan tambahan alat pendeteksi dini gempa bumi dan tsunami pasca-terjadinya tsunami di kawasan pesisir Selat Sunda, akhir pekan lalu. Ia juga memerintahkan memerintahkan jajarannya untuk mengecek semua peralatan pendeteksi tsunami.
Jokowi sebelumnya juga menyatakan ingin semua peralatan yang tak berfungsi diganti. "Sebetulnya sudah saya perintahkan juga untuk mengecek semua peralatan itu dan mengganti apabila ada yang rusak," katanya.
Presiden Jokowi berjanji akan menyiapkan anggaran untuk memperbarui peralatan deteksi tsunami. Dia akan mengalokasikan dana dalam APBN 2019. "Awal Januari akan saya perintahkan agar mengganti peralatan-peralatan yang rusak atau yang sudah lama tidak bisa dipakai," kata dia di Bandar Udara Syukuran Aminuddin Amir, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Ahad, 23 Desember 2018.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyatakan komitmen pemerintah untuk menambah anggaran bencana melalui skema pooling fund. “Ini sesuai dengan arahan dari Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk dana rehabilitasi serta konstruksi akibat bencana juga akan ditingkatkan,” tuturnya.
Pemerhati anggaran, Yenny Sucipto, mengatakan selama ini alokasi dana untuk bencana berkisar 0,5-1 persen dari total keseluruhan APBN. “Dan itu juga dibagi ke sekitar tujuh hingga sepuluh kementerian dan lembaga yang berurusan dengan pengelolaan bencana,” katanya.
Yenny berujar kepekaan pemerintah dan Dewan dalam alokasi dana mitigasi bencana ke depan perlu ditingkatkan. “Sehingga tidak lagi mencoret anggaran dengan alasan belum prioritas karena ini kan ibaratnya sedia payung sebelum hujan.”
Sumber: Tempo