SUKABUMIUPDATE.com - Ketua Dewan Pengurus The Habibie Center, Sofian Effendi, mengatakan secara sosial bangsa Indonesia permisif menyikapi korupsi yang dilakukan pejabat. Sikap ini menjadi salah satu pendorong banyaknya kepala daerah yang korupsi.
Sofian menyinggung putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan gugatan para mantan koruptor terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Dalam PKPU tersebut, termuat larangan bagi mantan koruptor mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. "Itu permisif," katanya saat memberi pidato kunci dalam seminar nasional Darurat Korupsi Kepala Daerah di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu, 14 November 2018
Ia bercerita dirinya sempat bertanya kepada pihak MA terkait keputusannya. "Eh, kan jelas secara moral bertentangan, harusnya di-black list. Tapi kok MA yang menganulir keputusan KPU?" ujar Sofian.
Saat itu pihak MA menyatakan bahwa keputusannya diambil dengan mempertimbangkan undang-undang dan konstitusi. Sofian berpendapat sebaliknya. Menurut Sofian, di atas segala aturan itu harus tetap mempertimbangkan etika dan moral.
"Tapi dalam sistem kita, etika tampaknya diletakkan di bawah hukum tertulis. Padahal etika dan moral di mana-mana adalah sumber dari hukum. Sistem seperti ini mentoleransi perbuatan korupsi," ujar Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara itu.
Selain itu, kata Sofian, sikap permisif terhadap korupsi juga terlihat dari vonis ringan yang diberikan kepada koruptor oleh pengadilan. Ia menuturkan para koruptor masih bisa menikmati hasil perbuatan jahatnya begitu bebas dari penjara.
Contoh lain budaya permisif terhadap korupsi, kata dia, tergambar dari keputusan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang mengangkat Tin Zuraida sebagai staf ahli menteri. Tin merupakan istri dari mantan Sekretaris MA, Nurhadi, yang diduga membantu menghilangkan barang bukti kasus suaminya dan menyembunyikan uang suap di kamar mandi saat rumahnya diperiksa oleh KPK.
Sumber: Tempo