SUKABUMIUPDATE.com - Peneliti Departemen Politik Centre for Stretegic and International Studies (CSIS), Arya Fernandez, menilai kedua pasangan kandidat pilpres 2019, yaitu Jokowi - Ma'ruf dan Prabowo - Sandiaga kehilangan narasi ihwal program yang ditawarkan. Sehingga, kata Arya, yang bermunculan kemudian adalah narasi-narasi bernada marah atau negatif.
Hal ini disampaikan Arya menanggapi pernyataan-pernyataan yang dilontarkan para kandidat, baik Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno belakangan ini. Sejumlah pernyataan yang dimaksud antara lain soal tampang Boyolali dari Prabowo, politikus sontoloyo dan politik genderuwo dari Jokowi, tempe setipis kartu ATM oleh Sandiaga dan budek-buta dari Ma'ruf Amin.
"Kedua pasangan kehilangan narasi soal program sehingga yang muncul adalah narasi-narasi seperti itu," kata Arya kepada Tempo, Ahad, 11 November 2018.
Arya menduga ada dua penyebab hilangnya narasi soal program ini, yakni ketatnya kontestasi dan rivalitas antara Jokowi dan Prabowo yang berulang seperti pilpres 2014. Dia menilai, rivalitas panjang ini membuat keduanya kesulitan mencari narasi yang ideal bagi publik.
Menurut Arya, hilangnya narasi soal program ini menjadi ironi bagi kedua kubu. Ia mengatakan sebagai inkumben maupun penantang, Jokowi dan Prabowo semestinya saling adu gagasan jika ingin menang. "Namun berdasarkan riset sejumlah lembaga, publik tidak mengetahui program yang ditawarkan kedua pasangan," kata dia.
Kedua kubu di pilpres 2019 belakangan saling serang lantaran pernyataan yang dilontarkan oleh para calon presiden-wakil presiden. Belum habis koalisi Prabowo mengkritik Jokowi lantaran pernyataan soal politikus sontoloyo pada 23 Oktober lalu, publik dihebohkan dengan omongan Prabowo mengenai tampang Boyolali pada 30 Oktober.
Pada Jumat, 9 November lalu, Jokowi kembali memantik perdebatan dengan ucapannya soal politik genderuwo. Selang sehari, Ma'ruf Amin melontarkan sebutan buta dan budek untuk orang-orang yang tak bisa mengapresiasi prestasi pemerintahan Jokowi selama empat tahun ini.
Sedangkan, Sandiaga Uno sudah lebih dulu kerap memantik kontroversi dengan pelbagai pernyataannya soal tempe setipis kartu ATM dan narasi-narasi lain soal harga-harga barang.
Arya mengatakan narasi-narasi itu berbeda sasaran. Menurut dia, ucapan Jokowi dan Ma'ruf ditujukan kepada elite-elite dari kubu lawan, sedangkan Prabowo-Sandiaga menyasar kinerja pemerintah di bidang ekonomi. Kendati begitu, dia menilai keduanya sama-sama memiliki imbas negatif.
Terkait Sandiaga, Arya mencontohkan pernyataan cawapres nomor urut 02 itu soal tempe setipis kartu ATM dan harga nasi ayam di Jakarta yang disebut lebih mahal dari di Singapura. "Kalau argumen yang dibangun tidak sesuai fakta kan orang akan mencibir juga," ujarnya.
Sumber: Tempo