SUKABUMIUPDATE.com - Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mendesak pemerintah menghapus seluruh pasal karet dalam UU ITE, terutama, Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2.
Koordinator Paguyuban Korban UU ITE, Muhammad Arsyad, menilai UU ITE banyak digunakan untuk memberangus kebebasan berpendapat dan membungkam kritik jika dilihat dari timpangnya relasi kuasa antara pelapor dan terlapor. "Banyak pelapor yang berasal dari kalangan pejabat, aparat, dan pemodal," kata Arsyad seperti dilansir keterangan tertulis, Senin, 5 November 2018.
Arsyad mencontohkan kasus ada Ervani dari Yogyakarta yang dilaporkan oleh pimpinan perusahaan tempat suaminya bekerja. Dia dilaporkan karena menulis tentang kapasitas kepemimpinan pejabat perusahaan tersebut.
Lain lagi dengan kasus yang menimpa aktivis dan jurnalis yaitu Anindya Shabrina di Surabaya, Deni Erliana di Bogor, dan Zakki Amali di Semarang. Anindya dilaporkan karena menulis kronologis pembubaran diskusi dan pelecehan seksual yang pelakunya aparat kepolisian di asrama Papua Surabaya.
Sementara Deni Erliana dilaporkan oleh pengembang perumahan karena membela hak-hak masyarakat untuk mendapatkan air bersih. Zakki Amali dilaporkan oleh rektor Universitas Negeri Semarang karena membuat berita dugaan plagiat rektor tersebut.
Arsyad menuturkan, pola pemidanaan kasus UU ITE dilakukan dalam bentuk balas dendam, barter kasus, membungkam kritik, shock therapy dan persekusi kelompok. Rudy Lombok, misalnya, dilaporkan oleh Badan Promosi Pariwisata Daerah NTB karena menemukan dugaan penyalahgunaan anggaran dan rekening pribadi di badan tersebut. Korban lainnya yaitu Ichwansyah di Yogyakarta, diancam dengan UU ITE karena memperjuangkan hak-hak pekerja.
Menurut Arsyad, dalam prosesnya banyak terjadi intimidasi berupa penahanan di saat status korban masih sebagai saksi. "Bahkan tiba-tiba berstatus tersangka padahal korban tidak pernah diminta keterangan," ujarnya.
Melihat kondisi tersebut, Paguyuban Korban UU ITE menilai penghapusan pasal karet sangat penting. Arsyad ingin kriminalisasi menggunakan beleid itu harus dihentikan. Masyarakat harus diberikan kebebasam berekspresi dan berpendapat sesuai amanat konstitusi.
Arsyad juga melihat kebutuhan untuk membentuk suatu wadah bagi korban UU ITE. Wadah ini berfungsi sebagai support group, advokasi, dan pengorganisasian. "Apalagi menuju tahun politik korban UU ITE semakin bertambah dan pembungkaman kritik oleh pemerintah semakin massif," katanya.
UU ITE pertama kali diundangkan pada 2008. Berdasarkan catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), terdapat sekitar 381 korban yang dijerat dengan UU ITE khususnya pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2) hingga 31 Oktober 2018. Sembilan puluh persen di antaranya dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik, sisanya dengan tuduhan ujaran kebencian.
Sumber: Tempo