SUKABUMIUPDATE.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla gagal memenuhi janjinya soal hak asasi manusia (HAM) selama empat tahun memimpin.
Koordinator KontraS Yati Andriani berujar dari 17 program prioritas HAM dalam Nawacita, KontraS mencatat enam komitmen gagal dipenuhi dan 11 komitmen dipenuhi tapi tidak sepenuhnya. "Secara umum, tidak ada satu pun komitmen atau janji HAM Jokowi yang dipenuhi secara utuh," kata Yati di kantor KontraS, Jakarta, Jumat, 19 Oktober 2018.
Yati menuturkan dalam Nawacita, program HAM yang dipenuhi sebagian komitmennya terjadi di sektor ekonomi, sosial, budaya. Adapun enam janji HAM Jokowi-JK yang gagal dipenuhi, yaitu memberikan perlindungan hukum, mengawasi pelaksanaan penegakan hukum, khususnya terkait anak, perempuan, dan kelompok termarjinalkan.
Menurut dia pemerintah gagal merumuskan peraturan implementasi sistem peradilan pidana anak, gagal mengesahkan RUU Kekerasan Seksual, komunitas LGBT tetap dibiarkan tanpa perlindungan dan menjadi target dari penangkapan dan pelarangan kegiatan.
Janji kedua yang gagal dipenuhi Jokowi-JK, kata Yati, yaitu memberikan jaminan perlindungan dan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta melakukan langkah-langkah hukum terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Janji itu dianggap gagal lantaran tidak ada pencabutan dan revisi atas UU Penodaan Agama Pasal 165. Padahal, aturan tersebut menjadi salah satu sumber kriminalisasi terhadap kelompok minoritas keagamaan dan justifikasi terhadap intoleran dan kekerasan. Adapun korban dari undang-undang tersebut di antaranya ialah Ahmad Moshaddeq, Siti Aisyah, dan Basuki Tjahaja Purnama.
Selain itu, komunitas Ahmadiyah, Syiah dan Gafatar tetap tanpa perlindungan. Berdasarkan catatan KontraS, peristiwa pelanggaran kebebasan beribadah dan berkeyakinan terjadi sejumlah 488 peristiwa.
Janji ketiga dalam Nawacita yang gagal dipenuhi adalah menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 65.
Alasan janji itu dinilai gagal ada beberapa sebab. "Pemerintah melalui Menko Polhukam mendorong penyelesaian melalui rekonsiliasi melalui pembentukan dewan kerukunan nasional," katanya.
Namun, kata Yati, janji itu direduksi dengan Rencana Aksi Nomor 45 dalam RANHAM, sehingga berbunyi optimalisasi koordinasi penanganan dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. "Bayangkan dari 2002 sampai 2018, bahkan 2019 target pelanggran HAM berat masa lalu hanya koordinasi antar-lembaga. Ini kan mundur seribu langkah," ujarnya.
Janji keempat yang gagal dipenuhi yaitu menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem hukum nasional, termsuk merevisi UU Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM. Menurut Yati, pemerintah belum memiliki langkah dalam merealisasikannya. Selain itu, pada akhir 2017, setidaknya ada dua peristiwa kekerasan yang dilakukan prajurit TNI di Pulau Taliabu, Maluku Utara, dan Kimaam, Jayapura.
Jokowi-JK juga dinilai gagal menekan tindak pidana dan mengurangi overcrowding pada lembaga pemasyarakatan, dengan mengembangkan alternatif pemidanaan. "Kita lihat KUHP semangatnya semangat penghukuman pemenjaraan, pasal-pasal delik pidana makin banyak, semua mau dipidana. Apa jawabannya untuk lapas yang sudah over," kata dia.
Janji lainnya mengenai peningkatan koordinasi penyidikan dan penuntutan, serta akuntabilitas pelaksanaan upaya paksa juga dianggap Kontras gagal terpenuhi. Sebab, agenda revisi KUHAP untuk mendorong akuntabilitas pelaksanaan upaya paksa mengalami stagnasi.
Sumber: Tempo