SUKABUMIUPDATE.com - Bak mendapat durian runtuh, Jess Melvin sungguh tak menduga apa yang ia dapat saat melakukan penelitian tentang pembunuhan massal pasca G30S 1965 pada 2010 silam. Segepok dokumen berisi catatan tentang aktivitas militer di Aceh itu seakan membuka kotak pandora tentang tragedi kelam pada 1965-1966 itu.
Peneliti Australia itu mencatat dan mengkonfirmasi temuan-temuannya itu. Hasilnya kemudian dijadikan buku berjudul "The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder".Dalam bukunya Melvin berpendapat pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia bukanlah hasil aksi spontan rakyat yang marah terhadap PKI.
Dari dokumen sebanyak hampir 3.000 halaman tersebut, Melvin sampai pada kesimpulan bahwa pembunuhan massal 1965-1966 itu tersentralisasi secara nasional di bawah kendali pemimpin Angkatan Darat saat itu Mayor Jenderal Soeharto.
Melvin menyatakan sudah banyak peneliti dan masyarakat Indonesia yang menduga peran militer dalam peristiwa ini. Namun tak ada bukti yang memperkuat keyakinan tersebut. Selain itu, selama 50 tahun terakhir, militer menyangkal terlibat.
Mereka mengklaim peristiwa 1965-1966 terjadi karena gerakan spontan masyarakat. "Dokumen ini memungkinkan pembuktian militer di balik pembunuhan 1965-1966 menggunakan data yang ditulis militer sendiri," katanya kepada Tempo, Selasa, 25 September 2018.
Pembunuhan massal pada 1965-1966 selama ini dicitrakan sebagai ulah Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI dituding hendak melakukan kudeta dan membunuh tujuh jenderal TNI Angkatan Darat pada 30 September 1965. Peristiwa itu dikenal sebagai Gerakan 30 September atau G30S 1965. Media resmi negara menyiarkan, rakyat murka atas kejadian tersebut dan mulai membunuh orang-orang yang berafiliasi dengan PKI. Militer kemudian tampil sebagai penengah dari kekacauan yang timbul secara spontan masyarakat itu.
Keterlibatan Militer
Dalam bukunya yang terbit pada 2018 itu, Melvin memaparkan keterlibatan militer dengan merinci surat perintah militer dari file genosida Indonesia miliknya.
Surat pertama muncul dari Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) kepada Komandan Militer Wilayah Aceh Ishak Djuarsa pada pagi hari, 1 Oktober 1965. Dia mengabarkan telah terjadi kudeta di Jakarta di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung. Melvin menyatakan, kabar tersebut juga diduga disampaikan kepada komandan wilayah lainnya meski hingga saat ini buktinya belum ditemukan.
Pada pagi itu juga, martial law atau darurat militer dideklarasikan di seluruh Sumatera. Operasi Berdikari diaktifkan di Aceh untuk memfasilitasi operasi penumpasan.
Pesan tersebut sempat direspons Komandan Mandala I (Panglatu) Sumatera Letnan Jenderal Ahmad Junus Mokoginta. Dia menginstruksikan tentara tetap tenang dan bekerja seperti biasa dan “menunggu perintah/instruksi selanjutnya dari Panglatu”.
Instruksi selanjutnya datang pada tengah malam. Melalui radio, Mokoginta mengumumkan bahwa PKI telah melakukan upaya kudeta. Presiden Soekarno selamat dan situasi di ibukota telah dikendalikan oleh Soeharto. Dia memerintahkan agar semua perintah pengganti Jenderal Ahmad Yani itu dipatuhi.
Mokoginta pun memerintahkan, "Segenap anggota Angkatan Bersenjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas contra-revolusi ini dan segala bentuk pencianatan2 dan sematjamnja sampai keakar2nja." Melvin mengatakan, perintah ini membuktikan militer menggunakan kampanye militer ofensif untuk menumpas rakyat yang dianggap terlibat gerakan 30 September sejak hari pertama. Militer tetap memerintahkannya meski mengetahui situasi ibu kota dinyatakan sudah terkendali.
Militer juga terbukti memobilisasi warga sipil untuk menumpas orang-orang tersebut mulai 4 Oktober. Melvin merujuk kepada pernyataan Soeharto yang menyatakan, "kami yakin dengan bantuan dari masyarakat ... kami dapat menghancurkan kontra revolusi gerakan 30 September sepenuhnya."
Pada 5 Oktober, protes masyarakat terhadap PKI berubah berbentuk kekerasan. Berdasarkan "peta kematian" yang dibuat militer, terdapat 1.941 pembunuhan terjadi di Aceh. TNI kemudian mendirikan Ruang Perang yang berupa sentral koordinasi perang non-konvensional terhadap PKI.
Menurut Melvin, pembunuhan massal yang sistematik bermula saat itu di Aceh. Setiap malam, truk bermuatan tahanan melaju memindahkan mereka ke situs pembunuhan terkontrol militer. Di sana mereka dibunuh secara sistematis.
Melvin mencatat kegiatan militer ini dilakukan melalui sistem komunikasi yang kompleks dan membentang hingga ke tingkat desa. Pola tersebut membentuk pola pemberantasan berskala nasional. Dengan cakupan yang luas, Melvin melihat upaya perebutan kekuasan negara atau kudeta di balik penumpasan PKI.
Dalam periode terjadinya G30S 1965, Melvin mengatakan, TNI dan PKI tengah bersaing memperebutkan kekuasaan. Pada Agustus 1965, Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan tentara rakyat yang disebut Angkatan Kelima. Mereka dipersiapkan untuk operasi Ganyang Malaysia, gerakan antisipasi potensi konflik dengan negara tetangga itu. Soekarno sebelumnya juga telah membentuk KOTI yang mengkoordinasikan militer dalam operasi Ganyang Militer serta Komandan Mandala Siaga (Kolaga) sebagai koordinator di tingkat wilayah.
Mobilisasi masyarakat itu dikhawatirkan TNI. Mereka khawatir Soekarno menggunakannya untuk melawan TNI. Di sisi lain, militer juga bersekutu dengan pemerintah Amerika Serikat yang anti komunisme. Di bawah kepemimpinan Jenderal Ahmad Yani, TNI menyusun strategi untuk kudeta setidaknya sejak Januari 1965.
Namun, kata Melvin, TNI tak ingin terlihat sebagai pengkhianat dan merencanakan kudeta terselubung. Dugaan ini dibuktikan melalui rekaman dari Duta Besar Amerika di Indonesia, Howard Jones, kepada atasannya di Washington. Dia menyatakan pemimpin militer Indonesia sedang menunggu peristiwa yang dapat digunakan sebagai dijadikan alasan untuk melancarkan kudeta terselubung itu.
G30S 1965 disinyalir Melvin sebagai kedoknya. Pasalnya Soeharto langsung menyalahkan PKI atas gerakan 30 September meski tak ada bukti saat itu, bahkan hingga saat ini, bahwa organisasi tersebut terlibat. Kudeta terselubung ini juga menjelaskan alasan Soeharto menyasar anggota PKI di seluruh negeri yang tidak ada hubungannya dengan G30S 1965 ketimbang menangkap dan mengadili pelaku sebenarnya.
Melvin menyatakan tak diketahui apakah Soeharto mengetahui rencana kudeta tersebut sejak awal. Namun dia terbukti memanfaatkan G30S 1965 untuk mewujudkan rencana jangka panjang militer menguasai negara dengan cara kudeta terselubung. "Karena rencana ini, Soeharto mampu bergerak cepat dan meyakinkan melawan PKI," kata Peneliti yang kini menjadi Postdoctoral Fellow di Sydney University itu.
Pengungkapan Kebenaran
Dengan narasi baru yang ia suguhkan, Melvin berharap dapat memberi landasan tambahan untuk menyelesaikan kasus pada 1965-1966 ini. Menurut dia, peristiwa itu akan terus membelah bangsa ini jika tak diselesaikan. Pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi diyakini akan mendorong Indonesia beranjak dari masa lalu.
Melvin berharap Presiden Joko Widodo tetap berkomitmen mendukung upaya penegakan hak asasi manusia. Salah satunya dengan mendukung kinerja Komisi Nasional HAM. Lembaga tersebut telah menyerahkan hasil investigasi terhadap peristiwa 1965-1966 kepada Jaksa Agung Basrief Arief. Laporan tersebut menyuguhkan bukti kuat yang mengindikasikan pelanggaran HAM berat.
Namun Jaksa Agung Prasetyo menyatakan laporan tersebut tak cukup untuk dibawa ke ranah hukum. Melihat detil bukti dalam laporan Komnas HAM, Melvin menyatakan penolakan tersebut bermuatan politik. Harapan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atas peristiwa 1965-1966 dapat segera dibentuk pun belum terwujud hingga saat ini.
Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah justru mulai berupaya menempuh jalur non yudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Wacana ini ditolak berbagai organisasi HAM di Indonesia yang menilai DKN akan mengabaikan mekanisme yudisial.
Melvin berharap Jokowi tetap berkomitmen terhadap penyelesaian kasus HAM di Indonesia. Dia juga berharap Jokowi mendukung pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atas peristiwa 1965-1966.
Pemerintah sendiri hingga saat ini masih teguh menggunakan mekanisme non-yudisial untuk menyelesaikan persoalan HAM tersebut. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Wiranto menyatakan kebijakannya tetap sama seperti telah disampaikan pada upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya pada Ahad, 1 Oktober 2017. "Dulu sudah diumumkan di Lubang Buaya. Pakai saja rekaman itu," katanya saat diminta keterangan tentang upaya penyelesaian kasus 1965-1966 pada Kamis, 27 September 2018 di kantornya.
Di Lubang Buaya, Wiranto mengatakan penyelesaian kasus 1965-1966 secara yuridis tidak mungkin dilakukan. Mekanisme tersebut akan memicu klaim salah-benar dari sejumlah pihak. Sementara Presiden Joko Widodo meminta agar sejarah tidak terulang dan dijadikan pembelajaran untuk masa depan. "Presiden mengatakan tadi, tidak mengulang sejarah kelam itu sebagai pembelajaran masa kini untuk menatap masa depan. Maka penyelesaian secara yuridis tidak mungkin," katanya.
Pernyataannya konsisten seperti disampaikan saat peringatan yang sama pada 2016. Wiranto mengatakan negara dalam keadaan bahaya selama peristiswa pada 1965-1966 terjadi, jika dilihat dari pendekatan yuridis. Artinya, segala tindakan yang dilakukan dianggap sebagai upaya penyelematan demi keamanan nasional. "Dari peristiwa tersebut juga dapat berlaku adagium 'Abnormaal recht voor abnormaale tijden', tindakan darurat untuk kondisi darurat yang dapat dibenarkan secara hukum dan tidak dapat dinilai dengan karakter hukum masa sekarang," katanya.
Jalur non yudisial juga dipilih karena Kejaksaan Agung kesulitan memenuh alat bukti yang cukup. Laporan Komnas HAM dianggap tak memenuhi standar pembuktian.
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bedjo Untung tetap berharap pemerintah menempuh jalur yudisial untuk menyelesaikan kasus ini. "Saya minta supaya pelaku kejahatan HAM diadili supaya ada pembelajaran dan tidak terjadi pengulangan di waktu yang akan datang. Karena mereka jelas bersalah," katanya saat ditemui di Jakarta, Kamis, 20 September 2018.
Dia menyadari banyak tokoh yang terlibat dalam peristiwa 1965-1966 sudah meninggal. Namun kenyataan tersebut seharusnya tak menghentikan upaya penyelesaian melalui jalur hukum. Pemerintah dalam hal ini dapat mewakili dengan mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat saat itu dan memohon maaf kepada korban. "Sampai sekarang negara belum memberikan pernyataan politik dan itu mestinya harus, karena semakin tidak segera, katakanlah meminta maaf kepada korban, tuntutan kami akan terus berkembang, tidak hanya di dalam negeri tapi juga luar negeri," katanya.
Sementara itu, Ketua DPP Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang mengatakan bahwa pihaknya ingin meluruskan mengenai tudingan Soeharto adalah dalang pembantaian pasca peristiwa G30S 1965. Partai Berkarya adalah partai yang memiliki paradigma Soeharto dan diisi oleh anak-anak Soeharto.
Partai ini pun berencana menggelar nonton bareng film G30SPKI yang sempat diputar selama pemerintahan Orde Baru. ‘Paham-paham atau informasi-informasi yang memutar balikkan fakta dan sejarah itu yang kami mau luruskan,” kata dia.
Bagi partai ini, kata Badaruddin, Soeharto adalah tokoh penting di balik pemberantasan paham komunisme di Indonesia. “Tapi bagi kami di Berkarya, kami memahami bahwa pak Harto adalah tokoh di balik pemberantasan paham-paham itu, bukan sebaliknya seperti yang direkayasa oleh orang-orang yang punya maksud tertentu,” ujarnya.
Adapun pihak TNI hingga berita ini diturunkan belum memberikan komentar terkait dokumen yang ada dalam buku Jess Melvin tersebut. Surat wawancara untuk Panglima TNI telah dikirim Tempo, namun belum berbalas. Upaya mengontak Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda juga belum berhasil.
Sumber: Tempo