SUKABUMIUPDATE.com - Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Eniya Listiani Dewi menjelaskan bahwa implementasi energi nuklir untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) harus segera mungkin dimulai. Menurut dia, untuk menikmatinya butuh waktu yang panjang.
"Beberapa bulan lalu saya berkunjung ke Cina untuk melihat fasilitas nuklir yang bisa dikelola universitas, sebetulnya itu salah satu bukti bahwa nuklir yang model HTGR atau nuklir generasi keempat kedepan itu jauh lebih aman," ujar Eniya setelah hadir dalam acara Launching, Bedah Buku dan Diskusi Nasional BPPT di Auditorium BPPT, Jakarta Pusat, Selasa, 25 September 2018.
1. Energi Nuklir di Indonesia Terlambat
Energi nuklir merupakan penggunaan terkendali atas reaksi nuklir guna menghasilkan energi panas, yang digunakan untuk pembangkit listrik. Penggunaan nuklir untuk kepentingan manusia saat ini masih terbatas pada reaksi fisi nuklir dan peluruhan radioaktif.
Energi nuklir, Eniya melanjutkan, salah satu potensi yang perlu digenjot. Eniya setuju untuk mendongkrak penerapan energi baru terbarukam (EBT) sampai digenjot 23 persen harus segera dimulai. Karena, kata dia, sudah tertunda sejak tahun 2009.
"Padahal kita kalau mulainya sekarang itu akan menikmatinya baru 30 tahun ke depan. Jadi masih lanjang, sebetulnya kita harus sesegera mungkin mengenalkan nuklir ini," tambah Eniya. "Kalau dari segi perspektif yang berbeda, saya sangat setuju dengan implementasi secepat mungkin. Karena untuk model yang generasi keempat itu, menghasilkan by product gas hidrogen. Kalau kita sudah menghasilkan itu, menjadi solusi untuk energi baru yang ramah lingkungan untuk transportasi dan sebagainya."
2. Harus Mencontoh Cina
Saat ini, Cina telah mendongkrak 54 unit pembangkit listrik tenaga nuklir, 25 sudah dikerjakan. Eniya berpendapat berdasarkan pengalamannya studi di Jepang, baru Cina yang berani menerapkan itu, sementara di Jepang masih menunggu bukti nuklir generasi keempat.
"Sementara Eropa dan Amerika baru mulai membuktikan keamanannya dan itu sistemnya jauh lebih mudah. Jika melihat Cina, 100 megawatt yang dari nuklir itu skala kecil dan bisa diadopsi oleh universitas. Artinya, ini kan salah satu bukti bahwa sebetulnya kita bisa menggunakan itu," tambah Eniya.
Peraih BJ Habibie Tecnology Award itu menjelaskan, model mini nuklir juga sudah dikaji oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (batan). Kemungkinan, menurut Eniya, bisa diterapkan di tempat-tempat lain, misalnya beberapa pulau yang bisa dipakai, aman bisa adobtable dan diterima masyarakat.
3. Meminimalisir Risiko
Sementara Kepala BPPT Unggul Priyanto menjelaskan bahwa semua yang digunakan itu mengandung risiko, termasuk nuklir. Yang paling penting itu, kata Unggul, meminimalisir resikonya.
"Semua apa kita gunakan mengandung risiko, enggak ada yang bebas risiko termasuk batubara, karena bisa saja meledak. Yang paling penting meminimalkan risikonya, misalnya PLTN, ya kita harus cari tempat yang jarang ada gempa tsunami dan yang kemungkinan kecil risikonya," kata Unggul.
Meskipun ada energi alternatif seperti panas bumi, solar dan hidro, Unggul berpendapat bahwa ketiga energi itu kecil porsinya. "Enggak bisa digenjot besar seperti batu bara, karena penggunaannya yang 70 persen, total 20 ribu megawat itu memakai batu bara, tidak ada yang mampu menggantikannya selain nuklir," tambah Unggul.
Sumber: Tempo