SUKABUMIUPDATE.com - Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) menggelar diskusi dengan tema 'Kontroversi Vaksin' untuk membahas tentang vaksin measles rubella atau vaksin MR yang diharamkan oleh Majelas Ulama Indonesia (MUI) dari berbagai perspektif ilmuwan.
Peneliti Vaksin dari PT Biofarma Neni Nurainy menjelaskan vaksin dari perspektif biomedis. Menurutnya, vaksin diperlukan untuk mencapai kekebalan secara kelompok atau global.
"Manfaatnya tidak hanya untuk individu tapi kelompok juga. Jika ada yang menyebarkan penyakit atau sakit, lalu ada yang tidak diimunisasi maka itu akan menyebar," lanjut Neni, di Kantor Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Jumat, 21 September 2018.
Vaksin MR yang diharamkan MUI adalah vaksin yang diimpor dari India melalui Serum Institute of India (SII). Masalah vaksin rubella sebenarnya sudah berkembang di dunia sejak lama. Neni menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang terlambat dalam melakukan pengembangan terkait vaksin rubella. Biofarma, kata dia, baru bergerak pada 2017.
Vaksin merupakan suatu produk biologi yang sifatnya antigenik, dibuat dari virus atau bakteri yang dilemahkan, lalu selanjutnya digunakan untuk mengaktivasi sistem kekebalan dalam tubuh.
"Jika beberapa saja orang yang diimunisasi maka akan tetap menyebar, tapi dengan 95 persen orang melakukan imunisasi vaksin dipastikan tidak menyebar," tambah Neni, yang juga anggota ALMI. "Dan yang 5 persen itu tidak terserang penyakit karena sudah mendapatkan kekebalan dari teman sekitarnya, jadi kita menyelamatkan banyak orang."
MUI mengeluarkan fatwa terkait vaksin MR pada Senin, 20 Agustus 2018 yang isinya menyatakan produk vaksin untuk imunisasi itu haram karena mengandung babi. Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR Produk dari Serum Institute of India untuk Imunisasi.
Dari perspektif Islam, Anggota AIPI Musdah Mulia menjelaskan bahwa Islam merupakan agama yang sangat fleksibel, bahkan ada kebijaksanaan hukum dalam Alquran yang menyebutkan sesuatu yang awalnya hukumnya haram bisa menjadi halal karena darurat.
"Misalnya memakan bangkai dan daging babi, nah apakah kebolehan karena darurat hanya berlaku pada itu saja? Kita juga harus terus berpikir, bukan hanya Islam, tapi seluruh agama menerapkan kebijakan untuk kemaslahatan bersama dan keselamatan manusia," tambah Musdah yang juga profesor di bidang pemikiran politik Islam. "Karena itu tujuan akhir dari agama itu sendiri."
Musdah melanjutkan bahwa jika memang vaksin itu tersebut hanya digunakan pada saat kondisi darurat, dia menanyakan darurat yang seperti apa. Dalam literatur keislaman, kata Musdah, dijelaskan bahwa kondisi darurat adalah kondisi di mana jiwa manusia terancam.
Neni juga menjelaskan bahwa vaksin juga sudah digunakan di 141 negara, termasuk negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Di negara-negara OKI lain, kata Neni, tidak ada yang mempermasalahkan vaksin dan perbedaan halal haram, karena vaksin yang digunakan sudah diakui lembaga kesehatan dunia (WHO).
"Vaksin itu kesuksesan kedua terbaik setelah air bersih dan sanitasi, kita kalau mau operasi itu harus cuci tangan, pakai alkohol baru boleh operasi. Kenapa alkohol tidak diharamkan sekalian di dunia medis? Cakupan vaksin itu meng-cover kemaslahatan bersama," ujar Dosen dan Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Ahmad Faried dari perspektif klinis.
Menurut Faried, vaksin sangat bermanfaat bagi kesehatan. Sejarah vaksin berawal pada 1700-an, pertama oleh seorang ahli bedah Edward Jenner mengamati kelompok kecil pemerah susu yang mengeluhkan tangannya karena cacar menular pada sapi (Cowpox). Jenner lalu mengambil materi rash dan memindahkannya ke lengan seorang anak tukang kebunnya yang berusia delapan tahun. Akibatnya, dia terkena cowpox, tapi segera sembuh.
"Saya menganalogikan vaksin dengan sabuk pengaman, ketika kita berpikir sebagai pengemudi yang baik dan jago, mobil kita bagus jalanan sepi. Kita tetap harus berhati-hati, tapi kita tidak tahu orang di sekitar kita, bisa jadi kita terkena dampaknya," lanjut Faried.
Sama seperti vaksin, menurut Faried, meskipun sudah melakukan imunisasi, belum tentu kita yang sudah berjaga-jaga akan terus aman. Tapi, kata dia, orang di sekeliling kita yang tidak diimunisasi vaksin bisa menularkan penyakit atau mencelakai.
Sumber: Tempo