SUKABUMIUPDATE.com - Rendahnya angka pencapaian pemberian vaksin MR (Measles Rubella) di Indonesia membuat Nursiah, 47 tahun angkat bicara. Putri keduanya menjadi contoh bagaimana jahatnya virus campak dan rubella jika menyerang manusia.
Ia pun membawa sang anak ke berbagai forum. Saat hadir di diskusi tentang dampak campak dan rubella, Selasa 18 September lalu, Syakilla Soraya, 8 tahun, terlihat kurus. Tak seperti anak seusianya, Syakilla juga tak bisa berbicara. Ia juga tak bisa mendengar, matanya menderita katarak.
Nursiah berkisah, saat hamil Syakilla ia menderita demam dan campak dan rubella.
"Saya terkena rubella saat usia kandungan dua bulan. Saya awalnya tidak tahu itu rubella. Yang saya tahu campak karena keluhan merah-merah di kulit," kata Nursiah dalam diskusi Forum Merdeka Barat, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta Pusat, Selasa, 18 September 2018.
Betapa hancur hati perempuan 47 tahun itu saat putri keduanya itu lahir dengan keadaan tidak bisa mendengar, memiliki katarak pada mata, dan kelainan jantung.
Bahkan, kata Nursiah, tetangganya menyebut Syakilla terkena kutukan. "Masyarakat tidak tahu rubella seperti apa. Saya juga awalnya tidak tahu. Setelah tes rubella, ternyata positif. Saya baru tahu," katanya.
Nursiah memilih tak menyerah pada keadaan. Selama 8 tahun ia bersama Syakilla mengikuti berbagai terapi. Anaknya pun menjalani operasi di sejumlah rumah sakit.
"Operasi jantung sudah, mata sudah, ya sekarang tinggal terapi. Kemungkinan sembuhnya kecil," kata dia getir.
Rubella yang merenggut masa depan putrinya itu berawal saat ia tinggal di Desa Blang Pulo, Banda Aceh. Saat itu ada seorang anak tetangganya yang terkena campak. Meski ia sudah imunisasi, tapi tetap tertular karena sudah mewabah di sana.
Nursiah tak ingin anak dan ibu yang lain mengalami apa yang ia hadapi saat ini. Sebab itu dia menyayangkan sikap pemerintah Aceh yang menunda pemberian vaksin MR (Measles Rubella) untuk anak-anak. "Apa mau anak-anak Aceh seperti anak saya Syakilla?" kata dia.
Sebelumnya, Pelaksana tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah menginstruksikan penundaan pelaksanaan pemberian vaksin MR untuk menunggu stempel halal. "Kami sudah menginstruksikan kepada Dinas Kesehatan untuk teruskan kepada kabupaten/kota agar menunda pelaksanaan imunisasi rubela," kata Nova Iriansyah di Banda Aceh, Selasa, 7 Agustus 2018 lalu.
Namun Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh mengeluarkan pernyataan bahwa vaksin MR bisa diberikan dalam kondisi darurat.
"Terkait vaksin rubella, kita sepakat vaksin itu haram karena mengandung babi. Namun dalam kondisi terpaksa penggunaan vaksin ini diperbolehkan," ujarnya setelah mengikuti rapat konsultasi terkait dengan vaksin MR di Aula Meuligoe Wakil Gubernur Aceh, Rabu, 19 September 2018.
Aceh merupakan provinsi dengan capaian terendah penggunaan vaksin MR. "Capaian untuk vaksinasi MR di Aceh masih sangat rendah, baru sekitar 7 persen dari data terakhir yang saya terima," kata Menteri Kesehatan Nila F Moeloek di Yogyakarta, 14 September 2018.
Kini Aceh mulai membolehkan vaksin MR diberikan. Hanya saja pemerintah mewanti-wanti agar tidak ada pemaksaan bagi orang tua yang menolak anaknya diberi imunisasi MR.
Dampak Luar Biasa Rubella
Menteri Nila F Moeloek mengungkapkan bahwa dampak luar biasa yang bisa terjadi pada anak penderita rubella adalah kecacatan. "Mata anak lahir katarak, tidak bisa melihat, tuli, radang otak, jantung. Mereka hidup, tapi dengan kecacatan," kata Nila.
Menurut dia, sudah cukup banyak negara yang berhasil mengatasi campak rubella. Sedangkan Indonesia belum bebas dari campak rubella karena jumlah kasusnya sangat banyak dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Jumlah total kasus suspek campak rubella yang dilaporkan antara 2014-Juli 2018 tercatat sebanyak 57.056 kasus, di antaranya 8.964 positif campak dan 5.737 positif rubella. Lebih dari tiga per empat dari total kasus yang dilaporkan, campak rubella diderita anak usia di bawah 15 tahun.
Nila menjelaskan, campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan sangat mudah menular. Penularannya melalui batuk dan bersin. Gejala penyakit campak adalah demam tinggi, bercak kemerahan pada kulit disertai batuk atau pilek, juga konjungtivitis yang dapat berujung pada komplikasi radang paru-paru, diare, meningitis, hingga kematian.
Adapun rubella yang dikenal dengan istilah campak Jerman adalah penyakit akut dan ringan yang sering menginfeksi anak dan dewasa muda. Namun, rubella sulit terdeteksi karena gejalanya yang minim. Rubella juga berbahaya bagi ibu hamil. Sebab, dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan permanen pada bayi yang dilahirkan, seperti yang dialami Nursiah.
Tak hanya berdampak pada kesehatan, Nila mengatakan bahwa penyakit ini juga membawa kerugian secara ekonomi. Ia memperkirakan, kerugian ekonomi bila seseorang terkena campak tanpa komplikasi lebih kurang memakan biaya Rp 2,7 juta per kasusnya.
Adapun bagi penderita dengan komplikasi seperti radang paru atau otak, biaya pengobatan minimal lebih kurang menghabiskan Rp 13 juta per kasus, di luar biaya hidup yang dibutuhkan saat penderita mendapat perawatan.
Data studi cost benefit analysis yang dilakukan Soewarta Kosen (Litbangkes 2015) menyatakan bahwa kerugian makro pada bayi yang lahir cacat permanen lebih kurang Rp 1,09 triliun. Cost per DALY (Disability-Adjusted Life Years) imunisasi MR bila dibandingkan dengan tidak diimunisasi mencapai Rp 26.598.238. "Hal ini tidak sebanding bila melihat biaya yang dikeluarkan untuk kampanye dan program imunisasi MR hanya sebesar Rp 29 ribu per anak," kata Nila.
Salah satu pencegahan mewabahnya campak dan rubella adalah imunisasi. Nila menuturkan, dari hasil kajian Kementerian Kesehatan, ahli Badan Kesehatan Dunia (WHO), dan akademisi Fakultas Kesehatan Masyarakat di Indonesia pada Oktober 2014, direkomendasikan agar dilakukan kampanye imunisasi MR dengan sasaran usia 9 bulan hingga 15 tahun.
Tujuan kampanye imunisasi itu untuk memutus mata rantai penularan dengan cakupan imunisasi minimal 95 persen di tingkat wilayah. Dengan demikian, cakupan imunisasi minimal 95 persen dapat membentuk herd immunity atau kekebalan kelompok.
Pemberian vaksin MR fase I di Pulau Jawa, pada Agustus-September 2017, bisa dibilang sukses karena cakupannya melebihi target, yaitu 100,98 persen dari target minimal 95 persen. Cakupan imunisasi yang tinggi, kata Nila, terbukti membawa dampak positif berupa penurunan kasus campak rubella di Pulau Jawa, yaitu dari 8.099 kasus pada Januari-Juli 2017 menjadi 1.045 suspek campak rubella pasca imunisasi.
Sayangnya, kesuksesan vaksinasi MR fase I tidak terjadi pada fase II yang ditargetkan di luar Pulau Jawa. Data Kementerian Kesehatan per 10 September 2018 menunjukkan cakupan imunisasi baru mencapai 42,98 persen. Padahal, sebanyak 32 juta anak berusia 9 bulan hingga 15 tahun sudah harus diimunisasi secara serentak sampai 30 September 2018 untuk mendapatkan imunitas kelompok.
Karena Fatwa Haram
Rendahnya target imunisasi MR, kata Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho, terjadi karena adanya penolakan dari masyarakat terkait fatwa haram vaksin MR dari Majelis Ulama Indonesia. Sehingga berdampak pada proses pelaksanaan vaksin.
Menurut dia, petugas kesehatan yang akan memberikan imunisasi MR justru mendapat sejumlah penolakan dan ancaman. "Ada yang diancam parang karena orang tua merasa 'saya enggak mau, karena ini haram'. Ini laporan yang masuk ke KSP," kata Yanuar di Gedung Bina Graha, Jakarta, Rabu, 12 September 2018.
Yanuar mengatakan, contoh kasus penolakan yang dialami petugas kesehatan terjadi di Puskemas Papoyato Induk, Pohuwatu, Gorontalo. Yanuar mengungkapkan, sebanyak 6 petugas kesehatan yang melakukan imunisasi MR di Desa Torosiaje Kepulauan mendapat ancaman. "Orang tua anak yang diimunisasi membawa parang, mengunci rumah, dan mengancam akan memotong petugas yang melakukan penyuntikan," ujarnya.
Sementara itu, ancaman juga dialami petugas di Posyandu Selalak Selatan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Yanuar menceritakan, ada seorang laki-laki menanyakan dan mengatakan bahwa imunisasi haram karena dari babi. Laki-laki tersebut datang dengan membawa senjata tajam dan memaksa petugas untuk membuang vaksin MR. "Petugas ketakutan dan akhirnya meninggalkan posyandu untuk kembali ke puskesmas," kata dia.
Peristiwa lain juga terjadi di Puskesmas Tanah Datar, Sumatera Barat. Orang tua mendatangi bidan desa, kepala sekolah dan wali nagari, menyatakan tidak terima anaknya disuntik. Mereka, kata Yanuar, mengancam akan menuntut tenaga kesehatan dan pemerintah, serta meminta bidan desa, kepala sekolah, dan wali nagari menandatangani surat pernyataan minta maaf.
Meski haram, MUI telah menyatakan bahwa vaksin MR mubah atau boleh digunakan. MUI tetap memperbolehkan penggunaan vaksin itu karena ada kondisi keterpaksaan atau darurat syar’iyyah, yaitu belum ditemukannya vaksin MR yang halal dan suci.
Ketua MUI Ma'ruf Amin ikut menyayangkan cakupan imunisasi MR yang rendah. Menurut Ma'ruf, keresahan masyarakat terkait kehalalan vaksin MR timbul lantaran Kementerian Kesehatan telat memproses sertifikasi halal.
Baru pada 2018, Kementerian Kesehatan rutin melakukan pertemuan dengan MUI dan mengajukan proses sertifikasi halal. Hasilnya, vaksin MR dinyatakan haram lantaran dalam proses produksinya menggunakan bahan yang berasal dari babi.
Meski haram, Ma'ruf mengatakan bahwa imunisasi MR hukumnya mubah atau boleh dilakukan karena ada kondisi keterpaksaan atau darurat syar’iyyah, yaitu belum ditemukannya vaksin MR yang halal dan suci. Ma'ruf pun menyarankan agar perlu ada upaya maksimal yang melibatkan semua pihak untuk memenuhi target cakupan imunisasi MR. "MUI siap terjun sukseskan imunisasi rubella," ujar Ma'ruf.
Bahkan penceramah kondang Ustad Abdul Somad meminta agar masyarakat ikut memberi vaksin MR kepada anak-anak. Dalam sebuah ceramahnya, Somad menjawab pertanyaan soal vaksin MR. "Pilih babi atau mati," kata dia.
Menjawab pertanyaan ini, Somad melengkapinya dengan analogi. Ia mengatakan, apabila di dalam hutan tidak ada makanan halal, yang ada hanya babi, ketimbang mati, maka diperbolehkan memakan babi.
Sumber: Tempo