SUKABUMIUPDATE.com - Polisi dinilai berpotensi melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi penangkapan teroris yang marak dilakukan tiga bulan terakhir. Detasemen Khusus 88 Antiteror dilaporkan telah menangkap sedikitnya 350 terduga teroris setelah kerusuhan di penjara Markas Komando Brigade Mobil di Kelapa Dua, Depok, pada Mei 2018 lalu. Hampir semua penangkapan itu, tak dipublikasikan.
Sejumlah pegiat hak asasi manusia mengkritik tindakan polisi yang tak transparan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Pasalnya, hampir semua penangkapan teroris tidak disertai pemberitahuan segera pada pihak keluarga. Tidak jelas juga apakah semua terduga teroris mendapat akses pada pengacara.
“Ada kesan penggunaan kekuatan berlebihan saat menangani terduga kasus terorisme,” kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani, seperti dimuat Majalah Tempo edisi 17 September 2018.
Dia menilai polisi kurang transparan dalam penangkapan para terduga teroris. Yati menganggap ada pelanggaran prosedur dalam penangkapan tersebut, seperti tidak diserahkannya surat penahanan dan surat penggeledahan.
Menurut Yati, penggunaan kekuatan berlebihan yang kemudian menewaskan terduga teroris bisa dianggap sebagai pelanggaran hak asasi. Sebab, semua pelaku kejahatan juga berhak mendapat pembelaan ketika dianggap bersalah. “Menembak pada bagian yang mematikan sama saja menghilangkan hidup. Densus seharusnya terlatih untuk menembak pada bagian yang melumpuhkan,” kata Yati lagi.
Laporan MBM Tempo menyebutkan ada setidaknya 90 kejadian penangkapan teroris sampai Agustus 2018 yang tidak dipublikasikan. Dari sejumlah operasi itu, 11 insiden diwarnai penangkapan dengan 25 terduga teroris dilaporkan tewas. Operasi penangkapan teroris terkonsentrasi di Jawa, meski ada juga kasus yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo membantah terjadi pelanggaran hak asasi saat meringkus terduga teroris. Dedi mengatakan pada dasarnya penangkapan yang dilakukan Detasemen Khusus 88 merupakan bagian pencegahan aksi terorisme. Polisi berupaya tetap mengedepankan hak asasi saat menangkap terduga teroris. “Petugas dapat melumpuhkan seseorang atau kelompok jika membahayakan keselamatan jiwanya,” ujar Dedi .
Sumber: Tempo