SUKABUMIUPDATE.com - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan menyebutkan salah satu pemicu defisit keuangan di instansi itu adalah kenaikan jumlah pengidap penyakit kronis dari waktu ke waktu. Berdasarkan kajian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP, defisit keuangan lembaga itu mencapai Rp 10,98 triliun.
Angka itu lebih rendah dari arus kas Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan 2018 yang mencatat defisit sebesar Rp 16,5 triliun. Hingga Agustus 2018, pengeluaran BPJS Kesehatan untuk membiayai penyakit katastropik atau penyakit yang memerlukan biaya tinggi, komplikasi dan membahayakan jiwa, mencapai Rp 12 triliun.
Adapun pengeluaran sebesar Rp 12 triliun itu setara dengan 21,07 persen dari total biaya pelayanan kesehatan. Padahal berbagai penyakit katastropik tersebut bisa dicegah melalui penerapan pola hidup sehat. Sementara sepanjang 2017, biaya penyakit katastropik yang dibiayai BPJS Kesehatan mencapai Rp 18,4 triliun.
Oleh karena itu, BPJS Kesehatan kini juga fokus untuk menjaga masyarakat yang sehat tetap sehat melalui berbagai program promotif preventif yang dilaksanakan. "Sementara bagi masyarakat yang berisiko menderita penyakit katastropik seperti diabetes melitus dan hipertensi, dapat mengelola risiko tersebut melalui Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) yang juga merupakan bagian dari upaya promotif preventif,” kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris.
Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar meminta BPJS Kesehatan tidak hanya menggenjot sosialisasi dan meminta masyarakat hidup sehat untuk mencegah timbulnya penyakit katastropik. BPJS Kesehatan juga diminta untuk mengawasi penetapan inasibijis oleh pihak rumah sakit.
Inasibijis (INA-CBG) merupakan singkatan dari Indonesia Case Base Groups yaitu sebuah aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk mengajukan klaim pada pemerintah. Timboel menduga inasibijis ini yang memicu terjadinya defisit di BPJS Kesehatan.
Timboel mencontohkan pada 2017 rujukan secara nasional dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tercatat 12 persen dan pada 2018 angka tersebut naik menjadi 15 persen. Artinya, dengan meningkatnya rujukan maka biaya jumlah inasibijis turut meningkat. Padahal seharusnya FKTP dapat mencegah peningkatan tersebut dengan memperketat rujukan.
Jadi pendekatan BPJS Kesehatan, menurut Timboel, bisa melalui kendali biaya berupa pengawasan. "Bukan dengan menurunkan manfaat bagi pengidap penyakit katastropik," kata Timboel, Selasa, 18 September 2018.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Sigit Priohutomo menilai defisit BPJS Kesehatan merupakan permasalahan yang pelik. Pasalnya, defisit bukan hanya karena akibat meningkatnya jumlah orang yang menderita penyakit kronis, tetapi juga karena masalah struktural di antaranya rendahnya kolektif iuran.
Sigit menyebutkan hingga kini baru 54 persen atau 107 juta peserta yang rutin membayar dari total 199 juta peserta BPJS yang terdaftar. Jika dirupiahkan angka tersebut setara dengan Rp 3,4 triliun.
Oleh karena itu, Sigit menyarankan agar BPJS lebih aktif dan tegas dalam mengejar mereka para peserta BPJS yang belum membayar. "Sekalipun ini di-manage oleh CEO yang super, ini pasti akan defisit," kata Sigit.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menyarankan agar BPJS tegas menyikapi peserta yang menunggak. Seharusnya, BPJS tidak memberi pelayanan kesehatan kepada mereka yang belum membayar iuran.
Terkait defisit BPJS Kesehatan ini pula, Kementerian Keuangan berencana meminta presiden menerbitkan Perpres yang mengatur soal kewajiban membayar iuran premi. "Orang sakit terus diobati, terus dia tidak bayar premi, itu benar gak? No premi no claim seharusnya. Nanti akan ada Perpres-nya kalau anda sakit belum bayar premi tidak akan diterima," kata Mardiasmo.
Sumber: Tempo