SUKABUMIUPDATE.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pernyataan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan terkait utang pemerintah yang disampaikan pada sidang tahunan MPR, Kamis pekan lalu bernilai politis. Tak hanya itu, pidato tersebut dinilai menyesatkan.
"Pernyataan tersebut selain bermuatan politis juga menyesatkan," kata Sri Mulyani seperti dikutip dari status Facebook resminya, Senin, 20 Agustus 2018.
Hingga berita ini ditulis, tercatat 5.900 orang yang merespons dengan mengklik emoji status Facebook Sri Mulyani tersebut. Sementara 1.150 orang yang membubuhkan komentar dan status tersebut sudah dibagikan sebanyak 4.000 kali.
Zulkifli Hasan pada Kamis pekan lalu dalam pidatonya itu menyebut utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2018 sebesar Rp 400 triliun tidak wajar. Menurut dia, angka tersebut tujuh kali lebih besar dari dana desa dan enam kali lebih besar dari anggaran kesehatan.
Menanggapi hal tersebut, Sri Mulyani menjelaskan merujuk posisi utang per akhir Desember 2017, maka pembayaran pokok utang pada 2018 sebesar Rp 396 triliun. "Dari jumlah tersebut 44 persen adalah utang yang dibuat pada periode sebelum 2015 (sebelum Presiden Jokowi). Ketua MPR saat ini adalah bagian dari kabinet saat itu," tuturnya.
Menurut Sri Mulyani, 31,5 persen pembayaran pokok utang adalah untuk instrumen SPN/SPN-S yang bertenor di bawah satu tahun sebagai instrumen untuk mengelola arus kas. "Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan?" kata dia.
Selain itu, kata Sri Mulyani, jika dibandingkan dengan anggaran kesehatan maka perhitungan Zulkifli salah. Pasalnya, pembayaran pokok utang pemerintah pada 2018 sebesar Rp 396 triliun sedangkan anggaran kesehatan Rp 107,4 triliun sehingga perbandingannya tidak mencapai enam kali lipat. "Perbandingannya turun 3,68 kali," ucapnya.
Sri Mulyani kemudian mempertanyakan sikap Zulkifli Hasan. Sebab, Zulkifli tidak pernah menyampaikan kekhawatirannya meski pernah menjadi bagian dari pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di masa lalu.
Sementara itu, jika disandingkan dengan alokasi dana desa, Sri Mulyani menilai argumen Zulkifli tidak tepat. Ia menuturkan dana desa baru dimulai pada 2015, sebabnya perbandingan harus dilakukan dengan utang pemerintah tahun itu. "Jadi sebaiknya bandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa tahun 2015 yang besarnya 10,9 kali lipat," ucapnya.
Menurut Sri Mulyani, pada 2018 rasio menurun 39,3 persen menjadi 6,6 kali, dan pada 2019 akan menurun lagi menjadi 5,7 kali. "Artinya kenaikan dana desa jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan pembayaran pokok utang," katanya.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengkritik sikap Zulkifli Hasan yang dianggap membuat pernyataan menyesatkan kepada rakyat di forum yang terhormat. "Bukankah tanggung jawab pemimpin negeri ini adalah memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat dengan memberikan data dan konteks yang benar," tuturnya.
Lebih jauh Sri Mulyani menjamin pemerintah berhati-hati dalam mengelola utang. "Defisit APBN selalu dijaga di bawah 3 persen per PDB sesuai batas UU Keuangan Negara," katanya.
Sumber: Tempo