SUKABUMIUPDATE.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tengah mengusulkan Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin kepada Unesco untuk menerima Guillermo Cano Press Freedom Prize 2019 mendatang. Udin adalah wartawan Bernas yang dianiaya orang tak dikenal di teras rumahnya di Bantul, DI Yogyakarta pada 13 Agustus 1996 dan menghembuskan nafas terakhir dalam kondisi tetap tidak sadar pada 16 Agustus 1996.
Namun hingga 22 tahun kematiannya tepat 16 Agustus 2018, kasus penganiayaannya belum diungkap.
“Biar Unesco turut mendorong penuntasan kasus Udin,” kata anggota Majelis Etik AJI Bambang Muryanto dalam diskusi publik bertema “22 Tahun, Apakah Kasus Udin Bisa Dituntaskan?” yang diadakan AJI Yogyakarta dan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) di Auditorium Kampus Pascasarjana UII Yogyakarta, Kamis, 16 Agustus 2018.
Penghargaan tersebut diberikan kepada jurnalis yang mempunyai kontribusi memperjuangkan kebebasan pers. Penerima penghargaan pada 2018 adalah fotografer asal Mesir Mahmoud Abu Zeid yang telah empat tahun lebih dipenjara di Mesir.
Kasus Udin pernah disidangkan dengan menyeret terdakwa palsu, Dwi Sumadji alias Iwik dengan dalih perselingkuhan. Padahal berdasarkan investigasi wartawan Bernas yang bergabung dalam Tim Kijang Putih dan Tim Pencari Fakta dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta menghasilkan petunjuk ada dugaan pembunuhan Udin karena sejumlah berita korupsi di Bantul yang ditulisnya.
Sejumlah upaya hukum dan advokasi dilakukan. Termasuk memberikan data-data hasil investigasi itu kepada polisi. Namun polisi tetap berpegang teguh Iwik pelakunya.
“Polisi selalu menuntut adanya bukti baru. Tapi bukti lama tidak pernah ditindaklanjuti,” kata Bambang.
Berdasarkan data yang dihimpun AJI, ada 10 jurnalis di Indonesia yang terbunuh karena menjalankan tugas jurnalistiknya. Termasuk Udin. Data tersebut tidak menutup kemungkinan bertambah mengingat tugas jurnalis rentan dengan tindak ancaman, kekerasan, hingga pembunuhan.
“Publik harus melawan ketika jurnalis menjadi target pembunuhan,” kata Bambang.
Lantaran tindak kriminal itu tidak hanya mengancam kebebasan pers, tetapi juga kebebasan publik memperoleh informasi. Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan tindak kekerasan yang dialami jurnalis akibat dari pelanggaran etik dari jurnalis itu sendiri. Apalagi 162 juta lebih orang Indonesia menggunakan internet sehingga potensi penyebaran hoax pun tinggi.
Berkaitan dengan upaya penuntasan kasus Udin, Ombudsman RI juga pernah meminta salinan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Pengadilan Militer yang pernah mengadili Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo. Namun hingga kini, BAP itu belum diberikan untuk bahan Ombudsman melakukan klarifikasi.
“Akan ketahuan nama-nama aktor lain dari BAP itu,” kata Ketua Ombudsman RI Perwakilan DIY Budhi Masturi.
Sementara aktivis Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) UII Tri Guntur Narwaya mengingatkan, meskipun negara tak hadir dalam penuntasan kasus Udin, berbagai upaya advokasi tetap harus dilakukan untuk melawan lupa.
“Kalau gagal melawan lupa justru akan mengedepankan ketakutan. Jadi perlu refleksi terus-menerus,” kata Guntur.
Sumber: Tempo