SUKABUMIUPDATE.com - Sebutan santri post-Islamisme untuk calon wakil presiden Sandiaga Uno dari Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman banyak dipertanyakan di media sosial.
Wakil Ketua Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Dewan Pimpinan Pusat PKS Sukamta menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah itu dan mengapa pihaknya menganggap Sandiaga termasuk kriteria tersebut.
Menurut Sukamta, salah satu ciri Sandiaga yang bisa dilihat sebagai sosok santri post-Islamisme adalah kedekatan dengan tokoh-tokoh agama. "Kedekatan dengan ulama dan perilaku Islami yang menunjukkan kesalehan pribadi itu bagian tidak terpisahkan," katanya lewat pesan singkat kepada Tempo, Sabtu, 11 Agustus 2018.
Sukamta menjelaskan, ciri utama aktivis post-Islamisme adalah cenderung pragmatis, realistis, dan bersedia berkompromi dengan realitas meski tidak selalu ideal. Namun ia membantah Sandiaga atau aktivis post-Islamisme ini sekuler.
Ia berujar Sandiaga dan para tokoh post-Islamisme tidak lagi terobsesi dengan penerapan ajaran Islam yang kaku. "Seperti penerapan hukum syariah secara kaku dalam kenyataan politik sehari-hari," ucapnya.
Anggota Komisi Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat ini berujar post-Islamisme adalah tahapan terkini dari gerakan dakwah Islam setelah revivalisme dan strukturalisme Islam. Gerakan ini mulai menguat seiring dengan kebangkitan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki.
Sukamta menuturkan, secara singkat, post-Islamisme adalah gerakan yang lebih mementingkan tercapainya esensi Islam, moderat, menyatu dengan sistem yang sedang berjalan, yaitu demokrasi. Pendekatan mereka lebih pragmatis, yaitu tercapainya target riil, seperti ekonomi, pembangunan, pertumbuhan, dan kesejahteraan masyarakat secara umum.
"Pak Sandi disebut oleh Presiden PKS sebagai santri post-Islamisme karena memang beliau mewakili tipologi aktivis dakwah Islam seperti tersebut di atas," tuturnya.
Presiden PKS Sohibul Iman, dalam sambutannya saat deklarasi Prabowo - Sandiaga Uno sebagai calon presiden dan wakil presiden, menyebut Wakil Gubernur DKI Jakarta itu sebagai santri post-Islamisme.
Sumber: Tempo