SUKABUMIUPDATE.com - Guru besar ekonomi pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin, mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya tidak hanya melawan Amerika Serikat dan Selandia Baru saja dalam kasus produk impor hortikultura di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Ada 13 negara lain yang ikut mendompleng Amerika dan Selandia baru demi mengeruk keuntungan jika Indonesia kalah.
"Sebanyak 13 negara ini tidak ikut berperkara, tapi nebeng dan mendukung, mereka membentuk kubu," kata Bustanul saat ditemui selepas acara seminar nasional "Menelaah Model Konsumsi Pangan Indonesia Masa Depan" bersama Perhimpunan Ekonom Pertanian Indonesia di Jakarta, Rabu, 8 Agustus 2018.
Ketigabelas negara tersebut yaitu Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Cina, Jepang, Korea Selatan, Norwegia, Taiwan, Paraguay, dan India. Mirisnya, dua negara tetangga ikut mendukung Amerika dan melawan Indonesia yaitu Singapura dan Thailand. Angka menjadi 14 karena Uni Erop pun ikut menjadi pendukung dan menolak kebijakan pemerintah Indonesia.
Sebelumnya, Amerika resmi meminta WTO agar menjatuhkan sanksi sebesar US$ 350 juta terhadap Indonesia. Ini merupakan kelanjutan dari protes yang dilayangkan Amerika dan juga Selandia Baru ihwal 18 hambatan non-tarif dari pemerintah Indonesia untuk sejumlah produk pertanian dan peternakan asal negara mereka. Beberapa produk impor tersebut yaitu diantaranya apel, anggur, kentang, bawang, bunga, jus, buah-buah kering, hewan ternak, ayam dan daging sapi.
Lantas, Amerika dan Selandia Baru mengadukan kebijakan Indonesia ini ke WTO. 23 Desember 2016, Indonesia harus menerima kekalahan di sidang tersebut. Memang ada upaya banding dari Kementerian Perdagangan, namun lagi-lagi kalah sehingga Kementerian Perdagangan dikabarkan telah melakukan sejumlah penyesuaian aturan demi menjalankan putusan WTO ini. Karena tak puas, makanya Amerika mengadu ke WTO. Permintaan Amerika ini diumumkan WTO pada Senin, 6 Agustus 2018.
Masing-masing negara ini memang melawan Indoensia karena memiliki kepentingan dagang masing-masing. Sebagai contoh, kata Bustanul, Thailand berkepentingan karena memasok komoditi sayur-sayuran ke Indonesia. "Jadi banyak sekali free-rider dalam kasus ini," tuturnya.
Kelompok ekonom pertanian, kata Bustanul, sebenarnya pernah mewanti-wanti pemerintahan sejak tahun 2012 bahwa Indonesia terancam menghadapi gugatan dari Amerika dan Selandia Baru. Pemerintah yang saat itu dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang telah mengambil ancang-ancang untuk menelurkan aturan pembatasan impor. "Awalnya pemerintah negosiasi karena menganggap enteng, setelah banyak negara yang dukung, baru akhirnya dianggap serius."
Di tahun 2013, pemerintah menerbitkan dua aturan untuk mengatur lebih jauh yakni Permendag Nomor 16 Tahun 2013 Tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura serta Permendag Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan. Dua beleid ini adalah beberapa diantara ketentuan yang diprotes oleh Amerika dan Selandia Baru.
Sementara itu, Pakar Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori menilai Pemerintah Indonesia harus menjelaskan aturan yang belum diubah oleh Indonesia beserta argumennya kepada WTO dan AS. Apabila tidak dilakukan, lanjutnya, akan membuat AS semakin meradang dan rawan diikuti oleh negara lain.
“Indonesia harus jelaskan kenapa AS dan Selandia Baru diberlakukan secara berbeda dengan negara lain pada 2013-2015 lalu,” ujarnya. Jika Indonesia tidak segera berperan lebih aktif, menurut dia, aksi tuntutan serupa akan dilakukan oleh sejumlah negara yang disebut Bustanul ikut mendompleng, seperti Brazil, Australia, Singapura dan Kanada.
Sumber: Tempo