SUKABUMIUPDATE.com - Kepolisian Resor Batanghari, Jambi banyak mendapat kritikan dan cercaan dari masyarakat terkait kasus penetapan seorang anak korban perkosaan sebagai tersangka aborsi. Pengadilan Negeri setempat telah menjatuhkan vonis enam bulan penjara atas anak tersebut.
"Jujur kami banyak sekali mendapat hujatan dan cercaan dari warga atas tindakan kami," kata Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Batanghari, Ajun Inspektur Dua Mustafa Kemal kepada Tempo, Kamis 2 Agustus 2018.
Mustafa menjelaskan, korban perkosaan yang kemudian hamil dan melakukan aborsi itu masih berusia 15 tahun. Ia diperkosa oleh kakak kandungnya yang masih berusia 17 tahun. "Apa yang kami lakukan merupakan penegakan hukum, mengingat korban terbukti melakukan tindak pidana aborsi," ujar Mustafa.
Mustafa berkukuh apa yang polisi lakukan sudah sesuai undang-undang yang mengatur tentang aborsi. "Jika tidak kami laksanakan kami juga melanggar aturan," kata dia.
Menurut Mustafa tindakan yang polisi lakukan diharapkan membuat efek jera kepada pelaku aborsi lain agar tidak melakukan tindaka serupa di masa datang.
"Secara manusiawi kami juga merasa kasihan dan prihatin atas korban, tapi harus bagaimana lagi, kami harus menegakkan hukum," kata Mustafa.
Sebelumnya korban mengalami perkosaan oleh kakaknya dan diketahui hamil. Oleh sang ibu, anak itu kemudian diminta melakukan aborsi.
Dalam sidang, jaksa sebelumnya menuntut satu tahun penjara untuk sang anak perempuan. Namun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas II Muarobulian pada 19 Juli 2018 menjatuhkan vonis 6 bulan penjara dan ditambah tiga bulan pelatihan kerja.
Pengacara korban masih melakukan banding atas perkara ini.
Adapun pelaku pemerkosaan yang merupakan kakak korban telah divonis dua tahun penjara. Sedangkan sanag ibu, AD, 38 tahun saat ini masih menjalani pemeriksaan karena dianggap ikut serta dalam kasus aborsi.
Ketua Yayasan Sikok Jambi Rahmat Mulyadi menyayangkan divonisnya korban perkosaan oleh hakim. "Seharusnya korban tidak dipenjara, tapi dibina di panti sosial," ujarnya.
Kasus ini juga ramai dibicarakan di media sosial. Sejumlah aktivis perempuan dan anak melaporkan majelis hakim kasus tersebut ke Komisi Yudisial karena diduga melakukan pelanggaran etik. Hakim diduga menyalahi aturan etik karena memvonis seorang anak perempuan korban perkosaan bersalah lantaran melakukan aborsi.
Genoveva Alicia dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengindikasi ada pelanggaran dalam pengambilan keputusan tersebut. "Korban pemerkosaan mendapat kuasa hukum yang sama dengan pelaku pemerkosaan di kasus berbeda namun berkaitan," katanya di Gedung KY, Jakarta, Senin, 30 Juli 2018.
Sumber: Tempo