SUKABUMIUPDATE.com - Pemerintah resmi mengundangkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang mantan narapidana atau napi korupsi untuk menjadi calon legislatif pada Selasa, 3 Juli 2018. Berita negara tentang diundangkannya PKPU ini ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana.
Larangan yang dimaksud dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 itu tertulis di pasal 4 ayat 3. Aturan pelarangan mantan napi korupsi menjadi caleg ini berpindah, sebelumnya poin ini berada di pasal 7 ayat 1 poin h pada formulir yang diunggah KPU.
Komisioner KPU, Wahyu Setiawan mengatakan tak ada perubahan substansi meski larangan mantan napi korupsi menjadi caleg itu berpindah posisi pasal. "Substansinya sama. Mantan napi korupsi, pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba tidak boleh nyaleg," kata Wahyu kepada wartawan, Selasa, 3 Juli 2018.
Sebelumnya, KPU menetapkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota itu pada 30 Juni 2018. PKPU tersebut ditetapkan oleh Ketua KPU Arief Budiman dan diunggah di laman resmi KPU.
Aturan pencalonan ini disahkan setelah melalui pro dan kontra. Sejak awal, rencana itu menuai penolakan dari sejumlah pihak, di antaranya DPR, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Kemenkumham. Kemenkumham bahkan sempat menolak mengundangkan peraturan ini.
Menurut Wahyu, dengan adanya poin tersebut, partai politik menjadi harus memastikan calon legislatifnya bukanlah mantan napi korupsi. Meski begitu, kata dia, KPU tetap memiliki kewenangan untuk memastikan hal ini.
"Tapi bila ada pelanggaran, maka KPU juga punya kewenangan eksekusi sejak tahapan pendaftaran balon, calon sementara, calon tetap, dan calon terpilih," ucapnya.
Setelah diundangkan, larangan mantan terpidana korupsi jadi caleg pada pasal 4 ayat 2 ini berbunyi "Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi."
Sumber: Tempo