SUKABUMIUPDATE.com - Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, ditemani Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Paku Alam X, meresmikan Jalan Majapahit, Jalan Hayam Wuruk, dan Jalan Citra Resmi di Kota Bandung. “Ini bagian dari rekonsiliasi Jawa-Sunda, atau Sunda-Jawa, sehingga sekarang tidak ada sekat lagi,” kata Aher, sapaan Ahmad Heryawan, di Bandung, Jumat, 11 Mei 2018.
Tiga jalan itu menggantikan nama jalan sebelumnya. Jalan Majapahit menggantikan Jalan Gasibu Barat yang berada di bagian barat Lapangan Gasibu. Lalu Jalan Hayam Wuruk menggantikan Jalan Cimandiri, serta Jalan Citra Resmi menggantikan Jalan Pusdai di sebelah Masjid Pusat Dakwah Islam Jawa Barat.
Aher mengatakan penamaan jalan ini bagian dari harmonisasi budaya Jawa-Sunda atas inisiatif Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X. Yogyakarta mendahului dengan untuk pertama kalinya menggunakan nama Jalan Siliwangi dan Jalan Pajajaran.
Menyusul Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengikuti inisiatif DIY dan Jawa Barat itu. Gubernur Soekarwo menyampaikan niatnya kepada Aher untuk mengikuti rekonsiliasi budaya dalam satu pertemuan di Jakarta. “Ternyata gelombangnya sampai ke Jawa Timur,” kata Aher.
Jawa Timur menyusul DIY, menggunakan nama Jalan Siliwangi dan Jalan Sunda. Di Jawa Timur ternyata sudah sejak lama digunakan Jalan Pajajaran. “Terakhir di Bandung hari ini,” kata Aher.
Aher mengatakan penggantian nama jalan itu sengaja di ruas jalan yang relatif sedikit penghuninya. Jalan Gasibu Barat, misalnya, hanya ada satu bangunan, yakni Hotel Pulman. “Pemilihan jalan itu lewat musyawarah, selain letaknya strategis. Tentu kita tidak ingin ketika mengganti jalan, diprotes masyarakat, tentu tidak nyaman,” katanya.
Penggunaan nama jalan terakhir, yakni Jalan Citra Resmi, sengaja ditambahkan karena permintaan masyarakat. “Ada masukan para budayawan, ada tokoh yang fenomenal namanya Dyah Pitaloka, Candra Wulan, atau Citra Resmi. Dipilihlah dari tiga nama itu Citra Resmi,” ujar Aher.
Aher mengatakan rekonsiliasi Jawa-Sunda ini diharapkan bisa meredam sekat budaya yang kadang muncul dalam momen tertentu. Dia mencontohkan, saat pernikahan, misalnya, antara pria Sunda dan perempuan Jawa, bagi sebagian kalangan dinilai tidak tepat. Dia mengaku sempat mengalaminya sendiri.
“Gubernur Jawa Barat saat melamar istrinya ada riak seperti itu. Kalau pernikahan yang pas itu laki-lakinya Jawa dan istrinya Sunda. Saya terbalik, laki-lakinya Sunda, istri Jawa, makanya ada gejolak kecil di rumah mertua saat itu. Ternyata kekhawatiran sirna karena alasan tersebut tanpa dasar,” kata Aher.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengatakan sekat budaya Jawa-Sunda bersumber dari peristiwa Perang Bubat antara Majapahit dan Pajajaran yang terjadi tahun 1348, sekitar 661 tahun yang lalu. “Ini menjadi satu contoh bahwa penyelesaian budaya adalah penyelesaian yang paling baik di antara semua. Budaya bisa menghaluskan yang kasar dan menjernihkan yang kotor. Budaya itu simbol yang sangat baik sekali,” tuturnya di Bandung, Jumat.
Soekarwo meyakini kisah Perang Bubat yang merenggangkan hubungan suku Jawa dan Sunda itu sengaja diciptakan sebagai bagian dari politik pecah belah, atau devide et impera, saat pendudukan Belanda. “Ini strategi budaya yang sama (yang dilakukan) ke Aceh.”
Wakil Gubernur DIY Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Paku Alam X mengatakan saatnya menggunakan budaya sebagai panglima. “Kita pernah menggunakan politik sebagai panglima, militer sebagai panglima, pernah menggunakan ekonomi sebagai panglima. Kini saatnya budaya,” katanya, dalam kesempatan yang sama.
Sumber: Tempo