SUKABUMIUPDATE.com - PEMERINTAH perlu mengambil langkah tegas setelah bocornya data pribadi satu juta lebih pengguna Facebook di Indonesia. Pemberian sanksi keras berupa penutupan sementara, misalnya, mungkin bisa dipertimbangkan. Perusahaan jejaring sosial asal Amerika Serikat itu gagal melindungi data pribadi penggunanya. Bahkan Facebook tidak bergegas membuka audit kebocoran itu walau pemerintah sudah memintanya pada 5 April lalu.
Itu berarti di Indonesia belum ada satu pun pengguna Facebook yang tahu datanya bocor atau tetap aman. Meski kebocoran data pribadi 1,1 juta orang Indonesia itu merupakan bagian skandal Cambridge Analytica, sampai kini memang belum diketahui kaitan langsung data warga Indonesia dengan kerja curang perusahaan konsultan politik asal Inggris itu.
Warga Indonesia barangkali tidak bersinggungan dengan kepentingan politik (atau bisnis) peneliti Cambridge Analytica, Aleksandr Kogan, ketika ia membuat aplikasi kuis kepribadian menggunakan platform Facebook. Berkedok riset akademis, aplikasi itu merekam data pribadi puluhan juta pengguna jejaring sosial ini. Belakangan terungkap, dengan data itu, Cambridge Analytica berhasil mempengaruhi hasil referendum Inggris dan pemilihan Presiden Amerika Serikat.
Merekam data pribadi bukan perkara sulit bagi perusahaan jejaring sosial sekelas Facebook. Perusahaan itu mengembangkan algoritma-program komputer yang mampu membaca perilaku orang dalam menggunakan media sosial. Algoritma akan memunculkan pengguna media sosial yang memiliki minat dan bidang perhatian yang sama, bahkan kecenderungan dan afiliasi politiknya. Kemampuan ini bisa diolah dan dimanfaatkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pengguna media sosial.
Di Indonesia, Facebook memanfaatkan algoritma untuk menayangkan iklan produk yang spesifik sesuai dengan minat pengguna jejaring sosial itu. Sejauh ini, cara beriklan model begini tidak menyulut keberatan luas. Tapi lain soalnya ketika menyangkut politik, terutama menyangkut hak memilih-salah satu hak asasi warga negara. Saat algoritma membaca pilihan politik seseorang, kemudian membanjirinya dengan iklan politik atau materi yang berseberangan dengan pilihan pribadi pengguna media sosial, ini jelas merupakan pelanggaran privasi dan hak asasi. Apalagi kalau informasi yang dikirimkan berupa hoaks atau fake news.
Pemerintah perlu turun tangan mencegah kemungkinan buruk itu. Teguran lisan dan dua peringatan tertulis kepada Facebook belum cukup. Sesuai dengan Peraturan Kementerian Komunikasi dan Informatika tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, pemerintah bisa memberikan sanksi penghentian sementara. Sanksi ini mungkin bisa memaksa Facebook-yang punya 130 juta akun di sini, nomor empat di dunia-menyerahkan laporan auditnya.
Pemerintah pernah sukses "menertibkan" Telegram dengan penghentian sementara ini. Aplikasi percakapan itu dinilai menjadi sumber penyebaran paham radikal dan terorisme. Sesudah Telegram memperbaiki kontennya, pemerintah membuka blokir itu.
Melihat peningkatan luar biasa jumlah pengguna media sosial di sini, sudah waktunya Indonesia memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang cakupannya lebih luas dan tidak hanya mengatur sanksi administratif. Sembari menunggu undang-undang itu, sebaiknya kita lebih rasional dan tidak mengumbar semua aspek kehidupan pribadi di media sosial.
Sumber: Tempo