SUKABUMIUPDATE.com - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira Adhinegara, menilai tren peningkatan utang luar negeri (ULN) Indonesia ke Cina mengkhawatirkan. Menurut Bhima, Cina memang memberikan bunga rendah lantaran utang ke negara tersebut bersifat bilateral.
“Tapi dari sisi risiko politik dan muatan kontraknya patut dikritisi,” katanya saat dihubungi Tempo, Kamis, 22 Maret 2018.
Bhima mencontohkan, beberapa proyek dalam negeri hasil pinjaman Cina justru mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) asal Negeri Tirai Bambu itu. Padahal Indonesia masih memiliki pengangguran yang memerlukan pekerjaan. Meningkatnya pinjaman dari Cina berkolerasi dengan kenaikan jumlah TKA Cina.
Selain itu, Bhima melanjutkan, pemerintah seharusnya memperhatikan kemampuan membayar utang. Dia berpendapat, kemampuan bayar pemerintah terus menurun. Hal itu tampak dari rasio pembayaran bunga dan cicilan pokok utang terhadap penerimaan pajak sebesar 26,5 persen pada 2011. Persentasenya bertambah menjadi 31 persen pada 2016.
“Artinya, 31 persen penerimaan pajak setiap tahun sudah habis untuk bayar kewajiban utang. Ini kan tidak sehat,” ujar Bhima.
Dalam Buku Statistik ULN Indonesia, yang diterbitkan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia pada Maret 2018, utang negara kepada Cina tercatat mencapai US$ 2,5 miliar pada 2010. Angka itu kemudian naik menjadi US$ 3,7 miliar pada 2011.
Setelahnya, ada tambahan utang lebih dari US$ 1 miliar per tahun selama tiga tahun berturut-turut. Jumlahnya adalah US$ 5 miliar pada 2012, US$ 6,1 miliar pada 2013, dan US$ 7,8 miliar pada 2014.
Utang Indonesia terhadap Cina naik drastis hingga 74 persen pada 2015. Pada tahun itu, total utang Indonesia mencapai US$ 13,6 miliar. Jumlah utang pada tahun berikutnya masih meningkat, yakni US$ 15,1 miliar pada 2016, US$ 15,99 miliar di 2017, dan US$ 16 miliar per Januari 2018.
Sumber: Tempo