SUKABUMIUPDATE.com - Sidang pemeriksaan memori Peninjauan Kembali (PK) kasus penodaan agama dengan terpidana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok hanya berlangsung 10 menit. Dalam persidangan tersebut, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Mulyadi, hanya menerima memori dari tim pengacara Ahok dan tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum.
Dalam sidang tersebut Mulyadi mengatakan, keputusan diterima atau tidak diterimanya PK ada di tangan Mahkamah Agung (MA). “Majelis tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah diterima atau tidak. Di sini hanya memeriksa bukti formil,” kata Muyadi saat sidang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin, 26 Februari 2018,.
Mulyadi mengatakan, dalam waktu tiga hari ke depan memori PK Ahok diserahkan ke majelis hakim melalui panitera pengganti. Ia berujar Senin depan majelis hakim akan menyelesaikan berita acara pendapat dan langsung akan dikirimkan ke MA.
Sebelum sidang, simpatisan Ahok sudah tiba di ruang sidang Koesoemah Atmadja sejak pukul 08.45 WIB. Mereka yang sebagian besar ibu-ibu berbaju merah itu duduk di sisi kanan ruangan.
Persidangan berlangsung aman dan tertib, meskipun telat sekitar 30 menit dari jadwal. Selama persidangan, suara-suara demonstran di depan PN Jakarta Utara terdengar jelas hingga ke ruang sidang. Suara majelis hakim, tim pengacara ahok dan JPU malah kurang terdengar, karena sidang tidak dilengkapi dengan pengeras suara.
Sementara itu dalam persidangan tersebut anggota Jaksa Lila Agustina mengatakan tidak ada novum dalam berkas memori yang diajukan Tim Pengacara Ahok. Sehingga JPU memutuskan tidak memberikan kontra memori. “Setelah kita pelajari, bukan novum atau apa,pun,” kata Lila.
Seusai persidangan, Jaksa Sapto Subianto mengatakan tidak ada bukti baru atau novum dalam PK yang diajukan tim pengacara Ahok. Menurut Sapto, kasus pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menjerat Buni Yani tidak bisa dijadikan dasar PK.
Menurut Sapto, meski Buni Yani terbukti memotong dan mengunggah video pidato Ahok di Kepulauan Seribu, bukan berarti Ahok tidak melakukan penodaan agama.
Sapto mengatakan, dua kasus tersebut deliknya berbeda di mana kasus Buni Yani terkait dengan pelanggaran Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sedangkan kasus Ahok terkait penodaan agama. “Buni Yani memang terbukti mengubah dan mengunggah elektronik yang bukan miliknya. Tetapi itu tidak sangkut pautnya. Yang satu karena penodaan agama, yang satu karena ITE,” kata Sapto.
Sumber: Tempo