SUKABUMIUPDATE.com - Sejarawan Taufik Abdullah mengatakan almarhum Kolonel (Purn) Saleh Asad Djamhari adalah ahli sejarah militer yang langka di Indonesia, karena saat ini nyaris belum ada penggantinya.
“Kesungguhan dan ketepatan waktu dalam bekerja yang membuatnya mengungguli rekan-rekannya di dunia sejarah militer Indonesia,†kata Taufik saat mengantarkan jenazah Saleh Asad Djamhari di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Sabtu, 27 Mei 2017.
Menurut Taufik, Saleh adalah ahli sejarah militer yang lurus. “Tidak mau bengkok atau dibengkok-bengkokkan. Bagi almarhum, dua dikali dia adalah empat, tidak tiga atau lima,†ujar Taufik.
“Karakter ini didukung begitu Saleh ditempa di dunia militer dan menjadi sejarawan militer,†ucap Taufik.
Itu sebabnya, kata Taufik, saat membuat disertasi untuk gelar doktornya di Universitas Indonesia, Saleh menggunakan seluruh daya upaya kemiliterannya untuk mengeksplorasi banyak arsip tentang Perang Jawa (1825-1830).
Disertasi yang berjudul “Stelsel Benteng dalam Pemberontakan Diponegoro 1827-1830 Suatu Kajian Sejarah Perang†pada 2007 diterbitkan Komunitas Bambu pada 2014 dengan judul Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng, 1827-1830.
“Perpaduan antara kecintaannya dengan militer, ilmu serah militer, dan pribadi yang militer, membuat karya itu menjadi monumental,†kata Taufik.
Taufik mengaku mengenal Saleh sejak kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
“Kami sama-sama kuliah di Jurusan Sejarah UGM, dia yunior saya, dan sama-sama aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),†ujar Taufik. Setelah lulus, Taufik dan Saleh ke Jakarta, namun berbeda pekerjaan.
“Kami bertemu lagi dalam beberapa proyek penelitian di Pusat Sejarah ABRI dan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,†ucap Taufik.
Sejarawan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, mengatakan Saleh Asad Djamhari meninggalkan banyak karya ilmiah tentang sejarah militer Indonesia. “Meski sudah meninggal, namun karya-karyanya tetap hidup,†kata Susanto.
Saleh, kata Susanto, pernah bekerja sebagai staf teknis Lembaga Sejarah dan Antropologi Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan di Jakarta pada tahun 1960-an. “Kemudian menjadi tentara,†kata Susanto.
Menurut Susanto, Saleh bergabung di Universitas Indonesia untuk mengajar mata kuliah sejarah militer sejak menjadi asisten Nugroho Notosusanto, ahli sejarah militer yang juga Rektor Universitas Indonesia dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1980-an.
“Pak Saleh adalah tangan kanan Pak Nugroho dalam sejarah militer,†kata Susanto.
Meski usianya sudah 70 tahun, Susanto menambahkan, Saleh masih gagah dan bersemangat saat kuliah untuk mengambil gelar doktornya di Universitas Indonesia.
“Pak Saleh amat bersungguh-sungguh dalam belajar. Kalau dulu saya diajar oleh beliau, belakangan malah saya menjadi pembimbing dan mengujinya,†ujar Susanto. “Mental prajuritnya terlihat di sini,†kata Susanto.
Menurut Susanto, disertasi Saleh tentang studi Perang Diponegoro yang dibuat dengan sangat rinci. Perang yang dalam sejarah kolonial dikenal sebagai perang terhebat dan memakan biaya sangat besar sehingga kas negara terkuras itu dibahas dengan lengkap.
“Pak Saleh menghitung kekuatan Belanda untuk melemahkan Pangeran Diponegoro dengan 250 benteng, namun tetap tidak berhasil. Kekuatan Belanda dan Diponegoro dihitung dengan rinci dan detail,†kata Susanto.
Selain tentang Diponegoro, Saleh juga menulis beberapa buku, diantaranya PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dalam Perang Kemerdekaan dan dengan beberapa sejarwan lainnya, Saleh menulis buku Perjalanan Seorang Prajurit Pejuang dan Profesional: Memoar Jenderal TNI (Purn.) Soemitro.Â
“Terakhir, Pak Saleh bersama saya dan Taufik Abdullah menyelesaikan satu bab buku Sejarah Nasional Indonesia dan Indonesia dalam Arus Sejarah,†kata Susanto.
Sumber: Tempo