SUKABUMIUPDATE.com - Komisi Pemberantasan Korupsi belum mengambil keputusan atas laporan dugaan pelanggaran Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah. Sebagai pelapor, Koalisi Masyarakat Sipil menuduh Fahri mengetok pengajuan hak angket terhadap KPK untuk menghambat proses hukum dugaan korupsi e-KTP, yang menyebut sejumlah nama legislator Senayan.
"Karena baru diterima, tentu kami harus mengkaji terlebih dulu laporan dan dugaan yang disampaikan," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, saat ditemui di gedung KPK, Rabu, 3 Mei 2017. "Posisi KPK tidak berganti. Kami tetap menolak membuka rekaman dan seluruh hal yang berkaitan dan masih digunakan untuk proses penegakan hukum," ujar Febri.
Fahri mengesahkan penggunaan hak angket dalam rapat paripurna yang diwarnai penolakan, interupsi, dan walk out sejumlah anggota Dewan, Jumat pekan lalu. Keputusan tersebut diambil meski belum ada persetujuan melalui mekanisme pemungutan suara yang umumnya dilakukan ketika ada penolakan.
Usul hak angket awalnya dimunculkan Komisi Hukum DPR untuk meminta KPK membuka rekaman pemeriksaan saksi kasus korupsi e-KTP, Miryam Haryani. DPR beralasan, ada penyebutan sejumlah nama anggota Dewan dalam pemeriksaan tersebut. Hak angket kemudian bergulir ke arah revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang hingga kini gagal akibat penolakan Presiden Joko Widodo.
Koordinator Bidang Korupsi Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, mengatakan Koalisi menyerahkan beberapa bukti kepada KPK, seperti dokumentasi media tentang jalannya rapat paripurna DPR. Koalisi juga melampirkan analisis hukum dugaan pelanggaran tersebut.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai upaya angket akan menghambat pemeriksaan dan penyelesaian kasus korupsi KTP elektronik. "Ketika KPK merasa terganggu, maka orang itu bisa dikenai pasal obstruction of justice," kata Feri.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia, Boyamin Saiman, juga melaporkan Fahri dan tiga pemimpin DPR lainnya, yaitu Setya Novanto, Agus Hermanto, dan Taufik Kurniawan, ke Mahkamah Kehormatan Dewan. Dia menilai Fahri melanggar kode etik saat mengetok pengajuan hak angket, sementara pemimpin lainnya bersalah karena tak mencegah tindakan Fahri.
Satu-satunya pemimpin yang tak dilaporkan adalah Fadli Zon, yang memutuskan walk out bersama Fraksi Gerindra. "Pengambilan keputusan hak angket KPK tak jelas mekanismenya. Banyak yang janggal. Tidak ada aklamasi ataupun voting," ujar Boyamin.
Fahri menyatakan siap menghadapi seluruh laporan yang diajukan ke KPK dan MKD. Dia menilai janggal tuduhan yang menyebut tindakannya telah menghalangi proses hukum di KPK. Menurut dia, ada indikasi kongkalikong antara KPK dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat untuk menghentikan penggunaan hak angket tersebut.
"Saya akan beberkan, buktikan adanya dana yang dialirkan untuk kelompok tertentu, memuji-muji KPK setiap hari," kata Fahri. "Bagaimana mungkin KPK bukan eksekutif kalau dia pakai dana APBN. Mereka juga lembaga yudikatif. Bahkan mereka juga legislatif karena membuat SOP yang kewenangannya melampaui konstitusi."Â
Â
Sumber: Tempo