SUKABUMIUPDATE.COM - Indeks rawan bencana Indonesia yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Oktober 2011, menempatkan Kabupaten Tasikmalaya di peringkat dua, dan indeks risiko bencana pada 2013, menduduki peringkat lima dari 496 kabupaten/kota di Indonesia.
Selain itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tasikmalaya mencatat hingga 23 November 2016, telah terjadi 260 bencana. Dari jumlah tersebut, 177 di antaranya tanah longsor, 14 kebakaran, banjir 15, angin kencang 15, dan 39 kejadian di luar bencana alam, dengan menelan kerugian sebesar Rp20,29 miliar dan satu korban jiwa.
Indeks rawan bencana ini, terungkap saat Bupati Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum memberi arahan pada kegiatan Penanggulangan Bencana Bagi Pimpinan Pondok Pesantren, bertempat di Pendopo Baru Kabupaten Tasikmalaya. “Bencana alam dan musibah bisa terjadi di setiap daerah, mau tidak mau harus kita hadapi dan mencari cara mengatasinya. Begitu pun dengan bencana sosial,†ungkap Uu.
Bukti tanggungjawab Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tasikmalaya adalah berusaha menjalin kerjasama dan koordinasi yang baik dan kondusif dalam menanggulanginya. “Dalam hal ini melibatkan tiga komponen utama, yaitu pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Kita juga perlu adakan workshop penanggulangan bencana bagi pimpinan pondok pesantren,†jelas bupati dua periode ini.
Menurutnya, dalam perspektif agama, upaya penanggulangan bencana, baik tahap pencegahan, kesiapsiagaan, mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi, merupakan bagian dari ajaran agama dan termasuk jihad, karena menyangkut keselamatan hidup dan peradaban manusia.
Pengurangan risiko bencana, diperlukan komitmen bersama dari semua pihak, melakukan ikhtiar fisik dan spiritual. “Ikhtiar fisik meliputi pemeliharaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, dengan menjaga kelestariannya, agar tidak merusak keseimbangan ekosistem,," ungkap santri yang menjadi bupati ini kepada sukabumiupdate.com,Jumat (25/11).
Untuk itu Uu berharap, melalui kegiatan tersebut, para kyai, ajengan, dan ustadz dapat meneruskan sosialisasi tanggap bencana kepada santri dan masyarakat di wilayah masing-masing. "Islam mengajarkan untuk melakukan ikhtiar spiritual dalam upaya pengurangan risiko bencana, selain berikhtiar fisik dengan tindakan preventif."