SUKABUMIUPDATE.com – Ketua MPR Ahmad Muzani menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka merupakan pemimpin negara yang sah secara konstitusional. Pernyataan ini disampaikan Muzani sebagai respons atas tuntutan Forum Purnawirawan TNI yang meminta agar Gibran dicopot dari jabatannya.
Dikutip dari tempo.co, Muzani mengaku belum mempelajari secara rinci tuntutan sejumlah purnawirawan tersebut. Namun, menurut dia, Prabowo-Gibran adalah satu paket kepemimpinan yang terpilih melalui seluruh tahapan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 hingga proses pelantikan.
Dia menjelaskan bahwa berdasarkan perolehan suara yang direkapitulasi oleh Komisi Pemilihan Umum atau KPU, Prabowo-Gibran dinyatakan unggul dibanding dua pasangan calon lainnya.
Menurutnya meskipun hasil Pilpres 2024 sempat digugat, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan kemenangan Prabowo-Gibran sah dan tidak bermasalah.
“Maka pada tanggal 20 Oktober 2024, atas keputusan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat mengadakan prosesi pelantikan. Itu adalah prosesi pelantikan presiden dan wakil presiden hasil pemilihan umum 14 Februari 2024. Jadi Prabowo adalah presiden yang sah, Gibran adalah wakil presiden yang sah,” ujar Muzani di Kompleks MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Jumat, 25 April 2025.
Baca Juga: Unggah Video Tinjau Banjir Sukabumi, Wapres Gibran Malah Diserbu Keluhan Penundaan CASN-PPPK
Terkait kemungkinan tuntutan pencopotan Gibran mengganggu soliditas pemerintahan, Muzani mengaku belum dapat berkomentar lebih jauh. “Saya tidak tahu bagaimana karena saya belum mempelajari,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menyatakan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan, penggantian wakil presiden tanpa alasan yang jelas tidak bisa dilakukan. Doli menegaskan, jabatan presiden dan wakil presiden dipilih sebagai satu paket.
“Soal posisi presiden dan wakil presiden itu juga sudah diatur dalam konstitusi kita. Dia itu satu paket,” ujar Doli di Kompleks Parlemen Senayan, Jumat.
Menurut Doli, sistem ketatanegaraan Indonesia berbeda dari negara lain, di mana tidak ada aturan yang memungkinkan penggantian wakil presiden secara sepihak.
“Tidak pernah ada, saya menemukan aturan-aturan yang kemudian bisa menggantikan begitu saja seorang wakil presiden karena dia satu paket, pemilihannya juga satu paket,” tuturnya.
Ia menjelaskan bahwa pengecualian hanya berlaku jika presiden atau wakil presiden tidak lagi mampu menjalankan tugasnya, misalnya karena meninggal dunia, sakit permanen, atau tersangkut masalah hukum.
“Selama memang tidak ada aturannya ya, kita jalan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku saja, baik yang ada di konstitusi maupun undang-undang yang berlaku,” katanya.
Sebelumnya, di media sosial beredar delapan tuntutan politik yang disampaikan Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Beberapa purnawirawan yang menandatangani dokumen tersebut antara lain Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, dan Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, pada Februari 2025.
Salah satu tuntutan mereka adalah mengusulkan kepada MPR untuk mengganti Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dengan alasan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Tempo telah mencoba menghubungi Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi untuk dimintai keterangan terkait tuntutan tersebut, namun hingga berita ini diterbitkan, ia belum memberikan tanggapan.
Sementara itu, Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Jenderal TNI (Purn) Wiranto, mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto memahami delapan tuntutan yang diajukan Forum Purnawirawan TNI.
Namun, menurut Wiranto, Prabowo tidak dapat serta-merta merespons tuntutan tersebut karena permasalahan yang diajukan bersifat fundamental dan memerlukan kajian mendalam.
“Karena itu masalah-masalah yang tidak ringan, masalah yang sangat fundamental,” ujar Wiranto di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Kamis, 24 April 2025.
Wiranto menambahkan bahwa Presiden tidak memiliki kewenangan langsung untuk menindaklanjuti permintaan tersebut karena Indonesia menganut sistem Trias Politika yang memisahkan kekuasaan antara Yudikatif, Eksekutif, dan Legislatif.
Sistem ini, kata dia, membatasi kekuasaan presiden dalam merespons tuntutan tersebut.
Sumber: Tempo.co