Negara Tak Boleh Melanggengkan Teror, KKJ Desak Polri Segera Tangkap Peneror Tempo

Sukabumiupdate.com
Minggu 23 Mar 2025, 20:24 WIB
Teror kepala babi dan bangkai tikus yang dikirim ke Kantor Tempo. (Sumber Foto: Istimewa)

Teror kepala babi dan bangkai tikus yang dikirim ke Kantor Tempo. (Sumber Foto: Istimewa)

SUKABUMIUPDATE.com - Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Indonesia, Erick Tanjung mengatakan bahwa Negara harus memberikan perlindungan serta hak atas rasa aman terhadap jurnalis dan media dalam menjalankan tugasnya memberikan informasi untuk kepentingan publik.

“Bukan malah melanggengkan teror dengan membiarkan praktek intimidasi yang beruntun, pembiaran terhadap aksi teror atau menganggap remeh teror merupakan bentuk keridakseriusan negara dalam melindungi jurnalis,” ujarnya dalam rilis yang diterima sukabumiupdate.com, Minggu (23/3/2025).

Erick menyebut KKJ juga menyesalkan pernyataan pejabat negara, dalam hal ini Hasan Nasbi selaku juru bicara Istana yang telah mengeluarkan pernyataan yang tidak bertanggung jawab, tidak empati dan tidak peka terhadap Cica, jurnalis TEMPO yang telah menerima teror kiriman bangkai kepala babi pada Rabu, 19 Maret 2025, kemarin.

“Seharusnya pejabat publik memberikan pernyataan dan contoh komitmen penegakan hukum, serta menegaskan dukungan mengungkap pelaku teror, bukan malah menyudutkan korban,” kata Erick.

Baca Juga: Kapolri Perintahkan Kabareskrim Selidiki Teror terhadap Tempo

Pada 21 Maret 2025, TEMPO telah melaporkan teror kepala babi ke Markas Besar Polri. TEMPO telah menyerahkan barang tersebu tkepada polisi sebagai barang bukti.

Setelah kiriman paket kepala babi tanpa telinga, teror berikutnya, berupa 6 bangkai tikus dengan kepala terpenggal ke halaman TEMPO pada Sabtu, 22 Maret 2025, pukul 08.00 WIB. Petugas kebersihan TEMPO menemukan kotak tergeletak dengan kondisi sedikit penyok.

Kotak kardus yang terbungkus kertas kado bermotif bunga itu, diduga paket yang tercecer. Ketika kotak itu dibuka, terdapat enam bangkai tikus dengan kepala terpenggal yang ditumpuk badannya. Tak ada tulisan apa pun di kotak kardus tersebut. Bungkusan itu diduga dilempar orang tidak dikenal pada Sabtu dinihari, pukul 2.11 WIB dari luar pagar kompleks kantor TEMPO.

Selain mendapatkan teror dan ancaman kekerasan simbolis, Erick mengungkap bahwa Cica juga menghadapi serangan digital yang semakin intensif berupa pengungkapan identitas pribadi atau doxing, serta bentuk serangan lainnya.

“Insiden ini, selain merupakan bentuk serangan yang menyasar individu, juga merupakan bentuk ancaman serius terhadap kebebasan pers dan keamanan jurnalis,” tegasnya.

Menurut KKJ, beberapa insiden ini bukan kebetulan, tetapi ini sebuah skenario intimidasi dan teror yang disengaja dan terencana. Pelakunya harus segera diungkap dan diproses oleh aparat penegak hukum.

“KKJ menilai rentetan peristiwa ini menjadi sinyal kuat bahwa ada pihak yang sedang mencoba mengintimidasi media kritis, melemahkan keberanian jurnalis, dan menebar ketakutan. Ini adalah serangan langsung terhadap kebebasan pers dan serangan terhadap demokrasi. Buruknya lagi, kekerasan berulang ini tidak menjadi perhatian serius oleh aparat keamanan atau negara,” kata Erick.

 

Dia menuturkan, kekerasan terhadap jurnalis bukan lagi sekedar kasus individual, tapi ini menjadi ancaman kebebasan pers yang sistemik pada kerja-kerja jurnalistik.

 

“Sayangnya, aparat penegak hukum masih gagal memberikan rasa aman. Bahkan kasus-kasus yang dilaporkan pun mengendap, tanpa ada kejelasan. Rangkaian kekerasan ini tergolong sebagai upaya penghalang-halangan kerja jurnalistik yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” tuturnya.

 

KKJ kemudian mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus tersebut dan memastikan tidak ada tindakan-tindakan yang mencoba membungkam kebebasan pers. Setiap jurnalis berhak untuk bekerja tanpa rasa takut dan tekanan dalam menjalankan peran sebagai kontrol sosial dan mengawasi kekuasaan yang sewenang-wenang.

 

Atas peristiwa tersebut, lanjut Erick, KKJ menyatakan sikap sebagai berikut:

 

1.Menuntut Kapolri dan jajarannya segera mengusut tuntas pelaku di balik rentetan teror yang terjadi, mengidentifikasi pelaku dan mengumumkan perkembangan penyidikan secara transparan kepada publik. Mendesak Kepolisian menangkap pelaku teror dan dijerat dengan delik pidana, Pasal 170 ayat (1) atau Pasal 406 ayat (1) KUHP. Jika terbukti terkait dengan peliputan, maka penyidikan harus merujuk Pasal 18 ayat (1) UU Pers No 40 Tahun 1999. Polisi juga perlu mengungkap motif teror dan memastikan tidak ada impunitas bagi mereka yang membungkam media;

 

2.Mendesak Dewan Pers untuk menurunkan Satgas anti-Kekerasan guna memastikan kepolisian mengusut kasus ini dengan tuntas. Dewan Pers juga perlu memantau dan menuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis yang selama ini luput dalam pendataan;

 

3.Mendesak negara untuk menjamin keselamatan jurnalis, termasuk hak untuk bekerja tanpa ancaman, dan mengusut tuntas dengan seadil-adilnya segala tindak kekerasan yang dialami jurnalis;

Mengajak seluruh komunitas pers, organisasi masyarakat sipil, dan publik untuk bersolidaritas dalam melawan segala bentuk intimidasi terhadap jurnalis.

 

Tentang Komite Keselamatan Jurnalis Indonesia

 

Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. Komite beranggotakan 11 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI).

Berita Terkait
Berita Terkini