Revisi UU TNI 2025: Ancaman bagi Demokrasi dan Supremasi Sipil?

Sukabumiupdate.com
Jumat 21 Mar 2025, 22:58 WIB
Revisi UU TNI 2025 menuai protes keras dari KIKA dan masyarakat sipil, yang menilai undang-undang ini dapat mengancam demokrasi, independensi peradilan, dan supremasi sipil. (Sumber : X : @andikabp)

Revisi UU TNI 2025 menuai protes keras dari KIKA dan masyarakat sipil, yang menilai undang-undang ini dapat mengancam demokrasi, independensi peradilan, dan supremasi sipil. (Sumber : X : @andikabp)

SUKABUMIUPDATE.com - Revisi Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang telah disahkan melalui sidang paripurna DPR RI pada Kamis, 20 Maret 2025, menuai kritik tajam dari berbagai pihak, terutama kalangan akademisi dan masyarakat sipil. Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menolak revisi ini dan menilai bahwa UU TNI yang baru berpotensi mengancam demokrasi, independensi peradilan, serta supremasi sipil.

Koordinator KIKA, Satria Unggul, mendorong masyarakat untuk bersatu dan memberikan tekanan kepada pemerintah agar membatalkan UU tersebut demi menjaga konstitusi, demokrasi, serta negara hukum. Dalam konferensi pers bertajuk "Kejahatan Legislasi dalam Persetujuan UU TNI 2025" yang diselenggarakan secara daring pada Kamis, 20 Maret 2025, Satria mengungkapkan enam alasan utama mengapa revisi ini harus ditolak.

Baca Juga: Ragam Reaksi atas Pengesahan Revisi UU TNI: Dari Gugatan Mahasiswa hingga Kekhawatiran Pengamat

Mengancam Independensi Peradilan dan Memperkuat Impunitas TNI

Salah satu kekhawatiran utama terhadap revisi UU TNI adalah potensi ancaman terhadap independensi peradilan. Dengan ketentuan baru dalam revisi ini, anggota TNI mendapatkan perlindungan hukum yang lebih luas, yang dinilai dapat memperkuat impunitas atau kekebalan hukum bagi mereka. Hal ini mengingatkan pada era Orde Baru, di mana TNI memiliki peran besar dalam sosial-politik dan ekonomi-bisnis, yang berseberangan dengan prinsip negara hukum dan supremasi sipil.

“Jika hal ini dibiarkan, dampaknya bisa sangat serius bagi masa depan demokrasi, penegakan hukum, serta peningkatan eskalasi pelanggaran berat HAM di Indonesia,” tegas Satria.

Bertentangan dengan Instrumen HAM Internasional

Revisi UU TNI juga dinilai bertentangan dengan berbagai instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) global, seperti rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), Statuta Roma International Criminal Court (ICC), dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). Indonesia telah meratifikasi beberapa instrumen HAM inti, seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). Oleh karena itu, negara berkewajiban memastikan akuntabilitas militer serta melindungi hak-hak sipil. Namun, revisi UU ini justru berpotensi melemahkan komitmen tersebut.

Dampak Impunitas terhadap Demokrasi dan Kebebasan Sipil

Satria menegaskan bahwa dengan impunitas yang diberikan kepada anggota TNI, tindakan sewenang-wenang dapat semakin marak tanpa konsekuensi yang jelas. Hal ini berisiko mengancam kebebasan sipil, termasuk hak untuk menyuarakan pendapat dan kritik terhadap pemerintah. Bahkan, revisi ini juga berpotensi memperkuat aktor-aktor politik yang sebelumnya terlibat dalam pelanggaran HAM, sehingga mereka tetap berada di lingkaran kekuasaan tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas.

“Hal ini menyebabkan penegakan hukum menjadi tidak efektif dan menghasilkan keputusan yang bias, bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law),” ujarnya.

Baca Juga: Jurnalis Sukabumi Dipiting Mahasiswa saat Demo RUU TNI, Pihak Kampus Sebut di Luar Kendali

Kembalinya Dwifungsi TNI dan Melemahnya Profesionalisme Militer

Poin lain yang menjadi sorotan adalah pengembalian peran ganda atau dwifungsi TNI, yang memungkinkan prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil. Hal ini dinilai berbahaya karena dapat mengancam supremasi sipil dan membuka ruang intervensi militer dalam urusan politik dan keamanan negara. Selain itu, peran TNI dalam birokrasi sipil bisa semakin melanggengkan impunitas dan melemahkan transparansi serta akuntabilitas pemerintahan.

Ancaman terhadap Kebebasan Akademik

Revisi ini juga dinilai berdampak negatif terhadap kebebasan akademik di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat tren peningkatan represi terhadap diskusi akademik yang membahas isu-isu sensitif seperti Papua dan keamanan nasional. Praktik sweeping buku-buku kiri serta pembubaran diskusi yang dianggap kontroversial menjadi contoh nyata dari pembatasan kebebasan akademik. Dengan revisi ini, represi semacam itu dikhawatirkan semakin meningkat.

Kejahatan Legislasi dalam Pembentukan UU TNI

Satria menyoroti bahwa revisi ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan legislasi, karena proses pembentukannya dinilai tidak transparan dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Rapat pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan di hotel secara tertutup dan dikawal ketat oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus) menunjukkan adanya ketidaksesuaian dengan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam pembuatan undang-undang.

Baca Juga: Sah! DPR RI Ketuk Palu RUU TNI Jadi Undang-Undang

Seruan Masyarakat Sipil: Tolak Revisi UU TNI!

Berdasarkan berbagai alasan tersebut, KIKA bersama organisasi akademisi lainnya, seperti CALS, KIKA, UII, SPK, LSJ, dan Pandeka FH UGM, sepakat bahwa revisi UU TNI bertentangan dengan prinsip hukum dan HAM serta merupakan bagian dari kejahatan legislasi yang mengancam demokrasi Indonesia.

Mereka menolak kebangkitan dwifungsi ABRI, yang memungkinkan TNI aktif mengisi jabatan sipil, karena hal ini akan semakin melanggengkan impunitas di dalam birokrasi. Mereka juga menekankan pentingnya menjaga pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif demi masa depan demokrasi Indonesia.

Sebagai masyarakat, penting untuk terus mengawal kebijakan ini dan memastikan bahwa demokrasi serta supremasi sipil tetap menjadi pilar utama dalam sistem pemerintahan Indonesia. Apakah kita akan membiarkan sejarah Orde Baru terulang kembali?

Sumber : Tempo.co

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini