Indonesia, negeri kaya raya yang dikaruniai dengan tanah subur gemah ripah loh jinawi, tampaknya menyimpan paradoks dalam kehidupan petaninya. Di balik kemakmuran alam, ironisnya, para petani yang menjadi tulang punggung sektor pertanian justru hidup dalam kondisi mengkhawatirkan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari 27,76 juta penduduk miskin di Indonesia, sebanyak 17,28 juta adalah penduduk pedesaan yang mayoritasnya bekerja sebagai petani.
Rumah Tangga Pertanian (RTP)—rumah tangga dengan setidaknya satu anggota yang menghasilkan produk pertanian untuk dijual—menjadi potret dari ketidakadilan ini. Dari hasil sensus pertanian 2018, terdapat 27,7 juta RTP, di mana lebih dari setengahnya (51%) berusia di atas 45 tahun. Generasi muda enggan bertani, takut miskin, sehingga profesi yang seharusnya mulia ini justru terabaikan. Dalam beberapa dekade mendatang, tanpa adanya regenerasi, profesi petani berisiko terpinggirkan.
Nasib Malang di Tanah Surga
Di tengah kesenjangan ini, rasa kebersamaan di kalangan petani tetap kuat. Berbeda dengan masyarakat di perkotaan yang individualis, rasa senasib justru melahirkan semangat kebersamaan (komunal) bagi mereka yang sama-sama tidak memiliki apa-apa dan tengah berada dalam belenggu kemiskinan di pedesaan.
kenyataan di lapangan memperlihatkan sisi ironis lain dari kemiskinan petani, seperti yang terlihat di Desa Cimerang, Kecamatan Purabaya, Kabupaten Sukabumi. Di sana, lahan pertanian yang sempit harus dibagi menjadi beberapa petak untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarga petani. Sebagai contoh, sepetak lahan milik keluarga di desa tersebut dibagi-bagi untuk anak-anak mereka agar semua anggota keluarga bisa bertahan hidup. Akibatnya, lahan yang seharusnya cukup dikelola oleh tiga orang, kini dikerjakan hingga delapan orang untuk mempertahankan semangat komunal dan family-oriented di antara para petani.
Baca Juga: Doa Membolak Balikan Hati Seseorang, Amalan yang Bisa Bikin Hatinya Luluh
kepemilikan lahan yang terbatas memaksa keluarga petani menggarap lahan yang kecil dan membaginya dengan banyak anggota keluarga untuk sekedar bertahan hidup. Clifford Geertz, antropolog asal Amerika, menyebut fenomena ini sebagai "Konsepsi Subsistensi," yakni upaya bertahan hidup yang tidak sepenuhnya berdasarkan pertimbangan ekonomi rasional, melainkan kondisi ekologis dan sosial masyarakat.
Selain itu, akses pasar juga menjadi tantangan besar bagi para petani. Setelah panen, mereka sering kesulitan memasarkan produk, karena kurangnya pemahaman tentang pasar digital. Akhirnya, hasil panen terjual murah kepada tengkulak, dengan upah rendah sebagai imbalan.
Setelah tiga dekade sejak merdeka, kondisi petani di negeri ini tampak belum berubah. Sistem pertanian kita masih menyerupai pola kolonial yang menguntungkan sedikit pihak saja, sedangkan petani tetap menjadi “kelas pekerja” yang miskin. Untuk menghadapi kenyataan ini, perlu ada perubahan sistem pendidikan yang berfokus pada pertanian demi mempersiapkan generasi baru petani yang berintegritas dan memiliki kemampuan adaptasi dengan teknologi modern. Hemat saya.
Baca Juga: Sebut Prabu Siliwangi, Mitos Maung Lodaya Hewan Mitologi Raja Pajajaran
Pentingnya Pendidikan Pertanian Berbasis Ideologi Agraris
Lembaga pendidikan pertanian seperti Sekolah Menengah Kejuruan Pertanian (SMKP) dan Perguruan Tinggi Pertanian (PTP) seharusnya menjadi benteng pertahanan utama dalam mencetak petani masa depan. SMKP, misalnya, memainkan peran vital dalam memperkenalkan siswa pada dunia pertanian dari hulu ke hilir, serta menyadarkan generasi muda akan pentingnya profesi petani. Kurikulum yang modern dapat mengatasi stigma kuno yang melekat pada profesi petani dan membuka wawasan akan pentingnya pertanian dalam menjaga ketahanan pangan bangsa.
Menurut hemat saya, kurikulum SMKP mesti dirancang sedemikian rupa laksana infanteri yang memberikan penetrasi ideologi pertanian modern, menyadarkan betapa pentingnya hal tersebut, menyelamatkannya dari gempuran-gempuran bias yang melekat di masyarakat akan pertanian yang kuno dan ketertinggalan dalam segala aspek, serta melepaskan stigma kuat dan melekat mengenai paradigma sistem pertanian ala kolonial.
Peran SMKP adalah memasok ideologi-ideologi pertanian sebagai entitas negara kita yang merupakan negara agraris, SMKP memperkenalkan kepada siswa/kadernya tentang pertanian dari hulu sampai hilir, SMKP membangun kesadaran siswa akan vitalnya profesi petani dalam orientasi pertanian. Sehingga pada akhirnya minat generasi muda terhadap pertanian tidak lagi berbuah kekhawatiran.
Disini peran krusial PTP mulai terlihat setelah ideologi pertanian tertanam kuat, PTP kemudian bermanuver memperkenalkan kepada mahasiswanya agroindustri, teknologi-teknologi pertanian terbaru dan terbarukan. outputnya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk negara dan kepentingan masyarakat banyak. PTP, sebagai lembaga pendidikan lanjutan, juga perlu berperan aktif dalam mengenalkan teknologi pertanian modern dan agroindustri.
Baca Juga: 7 Cara Alami Agar Wajah Tetap Awet Muda Meski Usia Sudah Tua
Dengan otoritasnya, PTP diharapkan mampu menjadi benteng pertahanan terakhir dengan kekuatan research development-Nya mengajak lulusan SMKP tidak hanya mengandalkan pertanian yang monoton dan berorientasi pada budaya pertanian kolonial namun juga menerapkan konsep pertanian yang memiliki daya saing, daya jual tinggi, modern dan yang tidak kalah penting adalah diversifikasi usaha pertanian.
Para lulusan PTP diharapkan menjadi petani-petani yang mandiri dan mampu menciptakan diversifikasi usaha pertanian yang berdaya saing tinggi. Mereka tidak lagi mengandalkan metode lama, tetapi siap menerapkan sistem pertanian modern yang lebih efisien dan berorientasi pada pasar digital. Dengan strategi ini, petani muda diharapkan mampu mengembangkan sektor pertanian yang mandiri, tidak lagi bergantung pada struktur kolonial yang kaku.
Apabila semua skenario telah berjalan dengan baik sesuai dengan parameternya, output (lulusan) dari PTP ini kemudian keluar menyapa dunia, sembari memperkenalkan ideologi pertaniannya yang didapatkan selama ia belajar di kampus dan sekolah kejuruan kepada masyarakat luas.
Pemerintah Sebagai Aktor Pendukung
Bak sebuah drama, aktor utama membutuhkan dukungan untuk menjalankan peran dengan baik. Pemerintah dalam hal ini diharapkan berperan aktif sebagai pendukung, sebagaimana diungkapkan Francis Wahono dalam artikelnya “Soal Pangan Percayakan ke Petani dan Nelayan.” " (kompas, 19/10/23). Wahono menegaskan pentingnya peran pemerintah dalam memastikan petani dan nelayan menjadi sokoguru pangan nasional yang berdikari.
Baca Juga: Pantai Pasir Putih Purwakarta, Yuk Coba Sensasi Renang di Tengah Hutan Tropis!
Pemerintah tidak boleh mengambil alih peran petani dan nelayan, melainkan mendukung mereka dengan memberi akses ke sarana dan prasarana yang memadai. Program penyuluhan yang memperkenalkan petani pada pasar digital, serta sosialisasi teknologi informasi dan komunikasi, adalah contoh langkah konkret yang bisa membuka keterpencilan desa. Dengan demikian, petani dapat memiliki akses yang lebih luas ke pasar dan bisa mendapatkan harga jual yang layak.
Mewujudkan Kemandirian Pangan
Jika semua upaya ini diterapkan dengan baik, maka harapan akan kemandirian pangan yang berdikari tidak lagi sekedar impian. Tingkat kemiskinan di pedesaan akan berkurang, dan ironi “petani miskin” di tanah yang subur dapat perlahan memudar. Dengan dukungan pemerintah, pendidikan yang tepat, dan perubahan sistem pertanian menuju modernisasi, kesejahteraan petani di negeri ini bukanlah lagi angan-angan.
Bukan begitu, Pak Francis Wahono?
Penulis: Oleh Turangga Anom, Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Insan Cita Indonesia dan Petani Milenial