SUKABUMIUPDATE.com - KH Ahmad Sanusi atau dikenal dengan sebutan Ajengan Gunungpuyuh, lahir di Cicantayan 18 September 1889. Beliau meninggal dalam usia 61 tahun, tepatnya pada 31 Juli 1950. Artikel ini dalam rangka mengenang kepergiannya 74 tahun lalu.
KH Ahmad Sanusi atau Kiai Sanusi adalah putera dari Ajengan Abdurrahim bin Yasin. Pada tahun 1915, sepulang belajar dari Mekah, Kiai Sanusi kembali ke Indonesia untuk membantu ayahnya mengajar di Pesantren Cantayan.
Setelah tiga tahun membantu ayahnya, ia mulai merintis pembangunan pondok pesantrennya sendiri yang terletak di Kampung Genteng, sebelah utara desa Cantayan, sehingga ia kemudian dikenal dengan sebutan Ajengan Genteng.
Pada bulan Agustus 1927 di sekitar Pesantren Genteng terjadi insiden pengrusakan dua jaringan kawat telepon yang menghubungkan Sukabumi, Bandung dan Bogor. Peristiwa ini dijadikan sebagai bukti Pemerintah Hindia Belanda untuk menangkap dan menahan Kiai Sanusi. Dengan alasan itulah beliau mendekam di Penjara Cianjur selama 9 bulan sampai bulan Mei 1928, selanjutnya dipindahkan ke Penjara Kota Sukabumi sampai November 1928.
Lalu, pada bulan November 1928, Ahmad Sanusi diasingkan atau dibuang ke Tanah Tinggi Batavia Centrum.
Baca Juga: Ulama Sukabumi KH Ahmad Sanusi: BPUPKI dan Kemerdekaan Indonesia
Pada tanggal 3 Juli 1934, Gubernur Jenderal de Jonge mengeluarkan keputusan mengembalikan Ahmad Sanusi ke Sukabumi dengan status tahanan kota. Maka Ahmad Sanusi bersama keluarganya menuju Kota Sukabumi. Awalnya ia bersama keluarga tinggal di Cipelang Gede, selanjutnya menempati sebuah rumah di jalan Vogelweeg No.100 Kelurahan Gunungpuyuh (sekarang Jalan Bhayangkara No.33 Kota Sukabumi.
Pada akhir tahun 1934, Ahmad Sanusi mendirikan Pondok Pesantren Gunungpuyuh yang lokasinya berada di belakang rumahnya, dalam perkembangan berikutnya Pondok Pesantren tersebut diberi nama Pergoeroean Syamsoel’Oeloem.
Alkisah, saat itu di Pesantren Gunungpuyuh, KH Ahmad Sanusi senantiasa menggelar pengajian rutin yang diikuti ribuan jamaah dari berbagai kalangan. Bahkan diantaranya dari kalangan non pribumi dan non muslim.
Salah satu diantara jamaah pengajian adalah seorang gadis remaja berusia 12 tahun, anak seorang Belanda yang menjabat Adviseur voor Inlandsche Zaken di Sukabumi. Gadis tersebut adalah Helena Nurhayati Pijiper, putri Mr. Pijiper buah dari pernikahannya dengan seorang wanita pribumi bernama Nurhayati.
Mr Pijiper dan Nurhayati menikah di Batavia. Nurhayati meninggal 4 bulan setelah melahirkan Helena.
Dalam usia 5 tahun Helena ikut sang ayah, Mr Pijiper, yang ditugaskan di Sukabumi.
Kisah ini dikutip dari buku novel karya Vita Agustina (2019) berjudul "Sang Penjelajah Ilmu", sebuah novel serial tokoh pendiri ormas di Indonesia.
Baca Juga: Ada KH Ahmad Sanusi, Jokowi Resmi Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional untuk 5 Tokoh
Dikisahkan, Helena sangat mengagumi KH Ahmad Sanusi, hingga ia secara sembunyi-sembunyi mengikuti pengajian yang digelar rutin di Gunungpuyuh. Helena pun tidak risih berbaur dengan jamaah lainnya dari pribumi, yang saat itu, merupakan hal yang tidak lazim, apalagi bagi anak seorang pejabat Belanda.
Mr. Pijiper, ketika mengetahui anak gadis satu-satunya itu turut mengikuti pengajian Ajengan Sanusi, ia sempat marah besar kepada Helena. Saat itu, Helena bukannya mengikuti keinginan ayahnya untuk berhenti. Helena malah melawan kepada ayahnya. "Mereka juga manusia, aku banyak belajar dari mereka, Aku melihat mereka begitu tulus, begitu lugu, menerima kita," kata Helena.
Namun, karena Mr Pijiper sangat menyayangi Helena, ia tidak larut dalam kemarahannya. Bahkan diceritakan kemudian, Mr. Pijiper juga sengaja datang berkunjung ke Gunungpuyuh untuk berdiskusi berbagai hal dengan Ajengan Sanusi.
Dikisahkan berikutnya, perkenalan antara Mr Pijiper dan KH Ahmad Sanusi tidak berlangsung lama. Karena, sesaat kemudian muncul penyerangan dari pasukan Jepang. Diketahui Jepang kemudian mengusir Belanda dan menjajah Indonesia sejak 1942 sampai 1945.