SUKABUMIUPDATE.com - Keluarga WNI korban sindikat penipuan daring atau online scam di Myanmar mengungkapkan kronologi kerabat mereka mengalami penyiksaan dan perbudakan hingga tak bisa pulang dari negera yang tengah dilanda konflik itu. Kasus ini diduga melibatkan lembaga pelatihan kerja (LPK) di Sukabumi.
Nurmaya (46 tahun), mengatakan suaminya adalah salah satu WNI yang menjadi korban. Dia menyebut, suaminya Dedi (bukan nama sebenarnya), mendapat tawaran kerja dari temannya sekitar Juni 2022. "Pak ini ada kerjaan ke Bangkok, kerjanya IT," kata dia menirukan teman suaminya. "Gajinya dia bilang Rp 10-20 juta."
Mengutip tempo.co, teman Dedi lalu memberikan nomor telepon yang menjadi penyalur tenaga kerja. Gayung bersambut karena perusahaan tempat Dedi bekerja tutup gara-gara Covid-19. Nurmaya belakangan mengetahui penyalur tenaga kerja itu adalah Andri Satria Nugraha dan Anita Setia Dewi, terpidana kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Dedi selanjutnya intens berkomunikasi dengan keduanya (Andri Satria Nugraha dan Anita Setia Dewi), bahkan melakukan Zoom mengenai cara bekerja dan keterampilan yang harus dimiliki. Dua minggu kemudian, Dedi berangkat ke Bangkok, Thailand. Nurmaya ingat betul suaminya berangkat saat lebaran haji atau 10 Juli 2022. "Waktu itu ada 11 orang dibagi dua grup, suami saya yang berangkat pertama," ujar dia.
Baca Juga: Lembaga Pelatihan di Sukabumi Dipolisikan, Diduga Kirim WNI ke Perusahaan Scam Myanmar
Dalam berita sebelumnya disebutkan, Nurmaya dan tiga ibu rumah tangga lainnya melaporkan LPK di Sukabumi ke Polda Jabar, Kamis, 11 Juli 2024. Keempatnya melaporkan LPK di Sukabumi atas dugaan TPPO dalam kasus sindikat penipuan daring ini. Namun belum diperoleh keterangan bagaimana peran LPK di Sukabumi yang diduga terlibat dalam kasus ini.
Kerja Scammer di Bawah Ancaman
Suami Nurmaya sempat mengabari saat sampai di bandar udara di Bangkok dan menginap di sebuah hotel. Keesokan harinya, Dedi dan rombongan dibawa langsung ke Mae Sot, kota di barat Thailand yang berbatasan dengan Myanmar. Mereka kemudian dibawa menyeberang ke Myanmar menaiki kapal kecil.
Sesampainya di tempat kerja, perusahaan meminta paspor Dedi dan kawan-kawan. Komunikasi dengan handphone juga hanya diperbolehkan pada dua pekan pertama. Sehingga, Dedi harus diam-diam menghubungi istrinya.
"Setelah dua minggu itu, suami saya baru tahu kalau mereka ternyata ditipu," kata Nurmaya. "Dari situ suami saya baru mulai mengabari ke saya kalau ternyata pekerjaannya ini adalah sebagai scammer."
Nurmaya menceritakan suaminya harus bekerja menipu orang. Scammer-scammer tersebut menargetkan orang-orang dari Asia dan Eropa. Scammer itu bisa menjadi laki-laki atau perempuan di akun mereka, tergantung target. "Mereka bekerja sampai 17 jam dalam satu hari," ucap Nurmaya yang merupakan wanita asal Bekasi. "Kalau mereka enggak target sesuai yang company minta, mereka akan dihukum."
Dia menuturkan hukuman itu beraneka macam, mulai setrum, dipukul dengan balok kayu atau rotan, hingga dikurung dalam bilik hitam. Hukuman itu tak hanya diberikan saat target dari perusahaan tidak terpenuhi, tetapi juga saat pekerja bangun kesiangan, tidak tepat waktu, bahkan mengantuk saat bekerja. "Mereka tuh penjaganya ada memakai senjata api," ujar Nurmaya.
Atas hal ini, Nurmaya dan keluarga dari korban WNI lainnya bersolidaritas lewat Solidaritas Korban Jerat Kerja Paksa dan Perbudakan. Mereka mengadukan permasalahan tersebut ke berbagai pihak seperti Kementerian Luar Negeri (Kemlu), KBRI, Kepolisian, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Lembaga Pengiriman Tenaga Kerja, pemerintah daerah masing-masing, bahkan kepada Presiden Joko Widodo lewat surat terbuka.
Namun, upaya itu belum membuahkan hasil. Sebab, berbagai lembaga tersebut ujung-ujungnya menyebut permasalahan mereka adalah kewenangan Kemlu.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan keheranannya mengapa Kemlu belum bisa memulangkan suaminya beserta korban penipuan online lain. Padahal, kata dia, korban online scam di negara lain bisa dipulangkan. Nurmaya mengklaim Kemlu selalu memintanya agar sabar menunggu. "Ya kan sudah dua tahun, lelah juga menunggu, sudah dua tahun saya berusaha untuk minta suami saya pulang."
Baca Juga: Distrik Pemberontak Myanmar, Lokasi WNI yang Dikirim Lembaga Pelatihan di Sukabumi
Tanggapan Kementerian Luar Negeri
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia, Judha Nugraha, mengatakan Dedi dan kawan-kawannya berada di Distrik Phalu. "Itu bagian dari Myawaddy tapi yang paling remote, yang paling jauh, dan dikuasai oleh pemberontak yang berbeda," kata Judha saat di kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat pada Rabu, 3 Juli 2024.
Dia pun membantah bila pihaknya disebut tidak melakukan upaya untuk memulangkan WNI korban online scam maupun tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Justru, upaya sudah dilakukan dalam berbagai macam level.
"Kalau dalam konteks keseluruhan, even Bu Menlu (Menteri Luar Negeri Retno Marsudi) sendiri waktu itu datang ke Kamboja," ujar Judha.
Kemlu juga menjalin pendekatan dengan negara-negara lain seperti Thailand dan Myanmar. Selain itu, ada pula forum ASEAN's Leaders Declaration on Combating Trafficking in Persons Caused by the Abuse of Technology atau Deklarasi Pemimpin ASEAN tentang Pemberantasan Perdagangan Orang Akibat Penyalahgunaan Teknologi. Pada saat keketuaan Indonesia, pihaknya justru menyuarakan permasalahan online scaming di tingkat ASEAN.
"Tapi kendala yang kami hadapi adalah situasi lapangan yang memang tidak dikuasai oleh otoritas setempat," ujar Judha.
Dia menjelaskan, jika ada masalah menyangkut WNI di negara lain, pihaknya akan melaporkan kepada keposian setempat. Nantinya, kepolisian setempat yang akan melakukan penyelamatan dan evakuasi. Hal inilah yang dilakukan misalnya di Kamboja dan Filipina.
Sementara di Myanmar, pihaknya juga telah berkoordinasi dengan kepolisian setempat, bahkan dengan Menteri Luar negeri Myanmar. Judha menyebut pihak Myanmar akan berupaya membantu, namun mereka tidak memiliki akses ke Myawaddy yang dikuasai pemberontak bersenjata. "Itu kesulitannya kami, kenapa kok sampai lama, sampai ada yang dua tahun," kata Judha.
Sumber: Tempo.co