SUKABUMIUPDATE.com - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut terlalu banyak celah suap (gratifikasi) atau praktik koruptif dalam sistem PPDB atau penerimaan peserta didik baru, sekolah negeri di Indonesia saat ini. Koordinator nasional JPPI Ubaid Matraji menyebut kecurangan ini akan terus berulang di tahun-tahun berikutnya, di semua jalur selama tidak ada perubahan sistem PPDB.
Melansir tempo.co, Ubaid menegaskan sistem PPDB yang masih dijalankan hingga saat ini (2024) punya banyak kelemahan dan celah curang tapi masih diterapkan sejak 2021. Ubaid menjelaskan bahwa banyak praktik curang dilakukan untuk menyiasati sistem PPDB saat ini, baik zonasi, maupun jalur penerimaan lainnya.
“Ada jual beli kursi, numpang Kartu Keluarga untuk memanipulasi jalur donasi, sertifikat yang abal-abal untuk jalur prestasi, ada titipan dari dinas dan sebagainya, serta pemalsuan kemiskinan karena ada jalur afirmasi,” kata dia di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin, 10 Juni 2024.
JPPI bahkan mencatat kecurangan saat PPDB dilakukan melalui jaringan kepala sekolah. Ini berdasarkan cerita yang ia dapat dari wali murid, dimana beberapa kepala sekolah mengumpulkan data dan menunjukkan kepada wali murid soal jumlah kursi di sekolah dengan pendaftar yang tidak imbang. Kondisi itu membuat ada peserta yang tidak lulus.
“Nah, kalau bapak/ibu berani bayar sekian maka kita usahakan pas pengumuman nama anak bapak/ibu keluar, Tapi kalau bapak/ibu enggak bisa bayar ya enggak ada jaminan untuk kami. Ya terima saja kalau misalnya tidak lulus,” ucap Ubaid menirukan modus tawaran dari oknum pendidik.
Kecurangan juga terjadi lewat jalur lain, mulai dari titipan lewat guru, komite sekolah, broker atau pihak luar yang kerap membuat orang tua tertipu, serta jatah kursi dari orang dalam. Praktik koruptif itu, kata Ubaid, terjadi karena tidak ada jaminan dari pemerintah agar setiap anak bisa mendapatkan haknya untuk sekolah.
“Sistem rebutan yang tidak berkeadilan, kemudian menghalalkan segala cara atas nama hak," ucapnya.
Baca Juga: 3 Cara Sederhana Untuk Membantu Orangtua Mengatasi Stres dan Kecemasan Pada Anak
Ubaid menyebut sistem zonasi menyimpang dari visi yang seharusnya, yakni pemerataan menjadi ketimpangan. Oleh karena itu, ia mengistilahkan zonasi sebagai kompetisi rebutan kursi.
Artinya, jumlah anak yang mau sekolah dengan jumlah kursi yang tersedia harusnya merata. Namun, kondisi saat ini justru sebaliknya. Jumlah kursi sekolah sedikit tapi yang mendaftar banyak. Ia juga menilai zonasi membuat ketimpangan mutu dan tak ada jaminan kepastian.
Sumber: TTempo.co