SUKABUMIUPDATE.com - Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) drh Slamet menyoroti rencana pemerintah untuk kembali melakukan impor beras sebanyak 3,6 juta ton dan upaya kerja sama dengan Cina (Tiongkok) dalam pengembangan proyek pertanian padi di Kalimantan.
Slamet yang merupakan legislator asal daerah pemilihan (dapil) Kota dan Kabupaten Sukabumi mengungkapkan kekecewaannya kepada pemerintah yang bukan merekonstruksi pengelolaan pangan, melainkan malah membuat kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kedaulatan dan kemandirian pangan.
"Pada 2023 dengan berbagai alasan pemerintah telah mengimpor beras 3,06 juta ton. Lalu tahun ini kembali berencana mengimpor beras 3,6 juta ton. Artinya selama dua tahun pemerintah memecahkan rekor impor beras tertinggi dalam sejarah. Kami menilai hal ini adalah dampak dari buruknya tata kelola pangan selama lima tahun terakhir,” kata Slamet saat interupsi di Rapat Paripurna DPR RI ke-16 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa, 14 Mei 2024.
Baca Juga: Tak Masuk Akal, Drh Slamet Kritik Rencana Impor Beras Akibat Gelombang Panas
Slamet menduga kebijakan ini juga dapat menjadi jalan eksodus bagi petani Cina seperti yang saat ini terjadi di sektor pertambangan. "Jika benar terjadi, maka akan membuktikan prediksi kami sebelumnya bahwa suatu saat nanti yang diimpor bukan lagi komoditas pertaniannya saja, melainkan petani pun akan diimpor," ujar dia.
Menurut Slamet, pengelolaan pertanian saat ini semakin tidak jelas arah dan tujuannya. Hal tersebut tidak sesuai dengan Nawacita yang dijanjikan Presiden Jokowi pada kampanyenya tahun 2014. Termasuk dengan rencana kerja sama Indonesia dan Tiongkok dalam pengembangan proyek ketahanan pangan di kawasan food estate Kalimantan.
Slamet menyebut rencana itu mendiskriminasi peneliti dan perguruan tinggi pertanian di Indonesia. “Rencana ini bentuk diskriminasi terhadap peneliti dan perguruan tinggi pertanian yang hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Di mana rasa nasionalisme pemerintah yang rela menghilangkan petani-petani anak negeri dan menggantinya dengan petani impor," katanya. (ADV)