SUKABUMIUPDATE.com - Jepang dibawah pimpinan Laksmana Nagano berhasil melancarkan serangan mendadak ke pangkalan angkatan laut Amerika Serikat Pearl Harbour, Hawai. Akibat dari serangan itu Amerika Timur jatuh ke tangan Jepang.
Pada awal tahun 1942, Jepang masuk dan berhasil menguasai sedikit demi sedikit wilayah Indonesia. Pada awal Maret 1942, Jepang berhasil menaklukan Kota Batavia otomatis Belanda menyerah pada Jepang.
Akan tetapi, Jepang harus merebut pemerintahan Hindia Belanda. Sehingga muncul sebuah perjanjian Kalijati, yaitu penyerahan atau kapitulasi kekuasaan Hindia Belanda dari Pihak Belanda ke Jepang.
Bagaimana kemudian Jepang menguasai Indonesia lewat Perjanjian Kalijati? Berikut penjelasannya seperti dikutip dari Serang dalam Lintas Sejarah yang ditulis Dra Kurniasih dan Nur Rahmawati (2009):
Kedatangan Jepang ke Indonesia Pada tanggal 11 Januari 1942 tentara Jepang mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur, pasukan Hindia Belanda terpukul mundur.
Kemudian pada 24 Januari 1942, Balikpapan kembali jatuh ke tangan Jepang. Menyusul Pontianak pada 29 Januari 1942, Samarinda pada 3 Februari 1942, dan Banjarmasikn pada 10 Februari 1942.
Baca Juga: Demo di Gedung DPR RI, Ini 3 Poin Tuntutan Aliansi Masyarakat untuk Perubahan
Pada 14 Februari 1942, Jepang menurunkan pasukan payung di Palembang dan berhasil menguasai kota itu hanya dalam dua hari.
Di Kalimantan dan Sumatra, Jepang menguasai ladang minyak. Jepang kemudian mulai bergerak ke Jawa yang menjadi pusat kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
Pada 1 Maret 1942, tentara ke-16 Jepang mendarat di Teluk Banten, Eretan Wetan di Jawa Barat, dan Kragan di Jawa Tengah.
Pada 5 Maret 1942, Jepang berhasil merebut Batavia dari Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, komandan dan pasukannya yang terpukul mundur ke Lembang, Jawa Barat, Pengepungan di Kalijati Kalijati menjadi pintu masuk bagi Jepang sebab di sana ada landasan udara.
Dikutip dari National Geographic Indonesia, serangan terakhir Belanda berlangsung di Kalijati. Pada 6 Maret 1942, Panglima Angkatan Darat Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten memerintahkan Komandan Pertahanan di Bandung, Mayor Jenderal JJ Pesman, untuk tidak melakukan pertempuran di Bandung. Sebab Bandung sudah dipadati penduduk sipil, baik wanita maupun anak-anak. Jika pertempuran terjadi, akan banyak korban sipil berjatuhan. Ter Poorten ingin berunding.
Baca Juga: Mudah dan Cepat: Cara Mengunduh Video dengan Y2Mate.band dalam Sekejap
Sore hari tanggal 7 Maret 1942 Lembang jatuh ke tangan Jepang. Jepang berhasil memaksa pasukan KNIL (Koninklijk Netherlandsch Indische Leger) di bawah komando Letjen Ter Poorten melakukan gencatan senjata.
Mayjen JJ Pesman pun mengirim utusan ke Lembang untuk melakukan perundingan. Kolonel Shoji minta agar perundingan dapat dilakukan di Gedung Isola (sekarang dipakai sebagai Gedung Rektorat UPI, Bandung).
Sementara itu, Jenderal Imamura yang dihubungi Kolonel Shoji memerintahkan agar mengadakan kontak dengan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkendborgh Strachouwer untuk mengadakan perundingan di Kalijati, Subang pada pagi hari tanggal 8 Maret 1942. Akan tetapi, Letjen Ter Poorten meminta Gubernur Jenderal Tjarda untuk menolak usulan itu.
Mendengar penolakan itu, Jenderal Imamura mengeluarkan ultimatum. Bila pada pagi hari 8 Maret 1942 pukul 10.00 para petinggi Belanda belum juga berada di Kalijati, maka Bandung akan dibom sampai hancur.
Sebagai bukti bahwa ancaman itu bukan sekadar gertakan, sejumlah besar pesawat pengebom Jepang disiagakan di Pangkalan Udara Kalijati.
Melihat perkembangan yang semakin mengkhawatirkan, Jenderal Ter Poorten pemimpin Angkatan Perang Hindia Belanda dihadapkan pada situasi kritis. Akhirnya pada 8 Maret 1942 Letjen Ter Poorten dan Gubernur Tjarda mengutus Mayjen JJ Pesman, untuk menghubungi Komandan Tentara Jepang dalam upaya melakukan perundingan. Namun utusan Belanda ini ditolak mentah-mentah Panglima Imamura. Dia hanya mau berbicara dengan Panglima Tentara Belanda atau Gubenur Jenderal.
Baca Juga: Weekend Camping di Buper Sukamantri Nikmati Dinginya Kaki Gunung Salak
Pertemuan yang semula direncanakan di Jalan Cagak Subang, akhirnya berlangsung di rumah dinas seorang perwira staf Sekolah Penerbang Hindia Belanda di Lanud Kalijati. Rumah itu kini menjadi Museum Rumah Sejarah yang lokasinya berada di Komplek Garuda E-25 Lanud Suryadarma, Kalijati, Subang Jawa Barat.
Perundingan singkat Perundingan penyerahan kekuasaan dari kolonial Belanda kepada Jepang berlangsung amat singkat. Dalam transkrip perundingan Kalijati terungkap, Jenderal Immamura bertanya, “Apakah Gubernur Jenderal dan Panglima Tentara mempunyai wewenang untuk mengadakan perundingan ini?”
”Saya tidak memiliki wewenang bicara sebagai Panglima Tentara,” jawab Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh.
Pihak Belanda mencoba mengulur-ulur dengan menyatakan hanya Ratu Wilhelmina di Belanda yang punya kewenangan untuk memutuskan. Imamura tak memberi banyak pilihan. Ia meminta agar Belanda mengumumkan lewat radio penyerahan diri Belanda. Imamura memberi waktu hingga keesokan harinya.
Perundingan di Kalijati itu tak berlangsung lama. Saat itu juga, Ter Poorten dan Tjarda secara resmi menandatangi dokumen kapitulasi atau penyerahan tanpa syarat Hindia Belanda kepada Jepang.
Keesokan harinya, 9 Maret 1942, Belanda menyiarkan penyerahan dirinya lewat radio. Setelah itu, Ter Poorten dan Tjarda digiring masuk ke kamp tahanan sebagai tawanan perang. Tjarda awalnya ditahan di sebuah rumah di Bandung. Ia kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin.
Pada 2 Januari 1943, bersama tawanan internasional lainnya, Tjarda dibawa ke Formosa (Taiwan).
Sumber : berbagai sumber