SUKABUMIUPDATE.com - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Keputusan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Kewajiban Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas, atau Perpres Publisher Rights.
Presiden menyatakan, penerbitan peraturan yang dapat diakses di halaman JDIH Sekretariat Kabinet merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan keberlanjutan industri jurnalisme dan media konvensional yang berkualitas di Tanah Air.
“Setelah sekian lama, setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya kemarin saya menandatangani Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab [Perusahaan] Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas, atau yang kita kenal sebagai Perpres Publisher Rights,” ujar Presiden pada Puncak Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2024, Selasa (20/02/2024), di Ecoventional Hall, Ecopark, Ancol, Jakarta.
Baca Juga: Jokowi Teken Perpres Publisher Rights, Google: Membangun Ekosistem Berita di Indonesia
Presiden menyatakan, keputusan ini melalui proses pembahasan yang sangat panjang untuk mendapatkan persetujuan, dengan mempertimbangkan perbedaan pendapat, aspirasi, pertimbangan implikasi hingga dorongan berbagai pihak.
“Setelah mulai ada titik kesepemahaman, mulai ada titik temu, ditambah lagi dengan Dewan Pers yang mendesak terus, perwakilan perusahaan pers dan perwakilan asosiasi media juga mendorong terus akhirnya kemarin saya meneken Perpres tersebut,” kata Presiden.
Presiden mengatakan, dengan Perpres ini, pemerintah ingin memastikan jurnalisme di Tanah Air tumbuh berkualitas dan jauh dari konten negatif. Selain itu, pemerintah juga ingin menjamin keberlangsungan industri media nasional.
Baca Juga: Dorong Jurnalisme Berkualitas, Jokowi Akhirnya Teken Perpres Publisher Rights
“Kita ingin kerja sama yang lebih adil antara perusahaan pers dan platform digital, kita ingin memberikan kerangka umum yang jelas bagi kerja sama perusahaan pers dan platform digital,” ujarnya.
Presiden juga menegaskan, Perpres tersebut tidak berupaya mengurangi kebebasan pers atau mengatur konten pers. Melalui Perpres ini, pemerintah mengatur hubungan komersial antara perusahaan media dan platform digital untuk meningkatkan kualitas jurnalisme.
“Perlu saya ingatkan juga tentang implementasi Perpres ini. Kita masih harus mengantisipasi risiko-risiko yang mungkin terjadi terutama selama masa transisi implementasi Perpres ini, baik itu perihal respons dari platform digital dan respons dari masyarakat pengguna layanan,” ujar Presiden.
Baca Juga: Perpres Publisher Rights Resmi Disahkan Presiden Jokowi, Ini Harapan AMSI
Selain itu, Presiden mengatakan pemerintah akan terus mencari solusi dan kebijakan bagi perusahaan pers dalam negeri. Salah satunya adalah menginstruksikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi untuk memprioritaskan biaya iklan publik untuk perusahaan pers.
“Ini berkali-kali saya sampaikan, minimal untuk bantalan jangka pendek. Memang ini tidak menyelesaikan masalah secara keseluruhan, perusahaan pers dan kita semua tetap harus memikirkan bagaimana menghadapi transformasi digital ini,” tutur Presiden.
Sementara itu, Presiden meminta para pembuat konten Indonesia tidak perlu khawatir dengan keputusan presiden tentang diresmikannya Publisher Rights. Presiden mengatakan pembuat konten tidak tunduk pada Perpres tersebut.
Baca Juga: Menkominfo Budi Arie Pastikan Perpres Publisher Rights Segera Disahkan
“Silakan dilanjutkan kerja sama yang selama ini sudah berjalan dengan platform digital. Silakan lanjut terus karena memang tidak ada masalah,” tandasnya. (FID/UN)
Dikutip dari situs Dewan Pers Indonesia, ada tiga poin utama dalam Perpres Publisher Rights. Pertama adalah menyusun praktik kerja sama yang ada. Kedua, mendorong interaksi antara platform digital dan perusahaan pers secara lebih seimbang. Dan ketiga, memberikan peluang bagi perusahaan pers, apapun skala bisnisnya, untuk meningkatkan kerja sama dengan platform digital.
Publisher Rights: Indonesia Ikuti Kanada dan Australia
Mengutip Tempo.co, peraturan tersebut memberlakukan klausul penunjukan dalam Kode Bargaining Media Australia, yang mengharuskan platform seperti Google membayar penerbit untuk setiap tautan berita yang diklik pengguna web di mesin pencari Google.
Langkah yang dilakukan oleh Australia sudah lebih dulu diterapkan melalui rancangan undang-undang, yang secara resmi dikenal sebagai Kode Perundingan Wajib Media Berita dan Platform Digital.
“Kode tawar media berita terkemuka di dunia dari Pemerintahan Morrison baru saja disahkan oleh Parlemen. Ini merupakan tonggak penting. Undang-undang ini akan membantu menyamakan kedudukan dan membuat bisnis media berita Australia dibayar untuk menghasilkan konten asli,” kata Josh Frydenberg mantan Menteri Keuangan Australia pada saat itu.
Mengutip bbc, platform digital terbesar di dunia Google dalam undang-undang yang dibentuk di Kanda, mengharuskan perusahaan teknologi untuk menegosiasikan perjanjian pembayaran dengan outlet berita.
Perjanjian tersebut mengharuskan Google membayar C$100 juta (£58 juta, $74 juta) setiap tahun, berdasarkan inflasi, kepada outlet berita.
Menteri Warisan Budaya Kanada Pascale St-Onge mengatakan, dana tersebut akan digunakan "untuk berbagai bisnis berita di seluruh negeri, termasuk bisnis berita independen dan bisnis berita dari komunitas Pribumi dan minoritas berbahasa resmi".
Pernyataan itu mengatakan bahwa Google akan membayar "satu kolektif" yang akan mendistribusikan dana tersebut ke kantor-kantor berita yang memenuhi syarat "berdasarkan jumlah jurnalis penuh waktu yang bekerja di bisnis tersebut".
Undang-Undang Berita Online Kanada mendapat kemarahan dari perusahaan-perusahaan teknologi ketika undang-undang tersebut disahkan pada musim panas tahun 2023, sementara banyak kelompok media memuji undang-undang tersebut sebagai langkah positif menuju keadilan pasar.
Google menyebut RUU itu "tidak bisa dilaksanakan" dan menambahkan: "Keputusan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk memberi harga pada tautan merusak cara kerja web dan mesin pencari."
Sama seperti yang dilakukan di Australia dan Kanada, Google Indonesia pada tahun lalu ketika RUU masih dalam tahap rancangan, sempat mengancam akan berhenti menampilkan konten berita di platformnya apabila klausul bayar per klik diterapkan.
Apabila hal tersebut dilakukan oleh Google, maka platform pencarian terbesar di dunia itu akan menyetop konten dari penerbit media lokal di tanah air.