SUKABUMIUPDATE.com - Pegiat anti korupsi, Nasional Corruption Watch (NCW) membongkar carut marut Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City serta adanya indikasi dugaan korupsi dan pengaturan nilai investasi guna menguntungkan beberapa pihak.
Diketahui pada tahun 2023 ini, perusahaan yang disebut berkelas dunia asal China, Xinyi Glass Holdings Ltd, berencana untuk berinvestasi di Pulau Rempang dengan nilai mencapai Rp172 triliun. Rencananya, daerah tersebut akan dibangun menjadi Rempang Eco-City, yang merupakan kawasan industri hijau, jasa, dan pariwisata.
Namun, ketika investor ingin memasuki kawasan tersebut, ternyata lahan tersebut telah ditempati oleh warga sekitar. Ini mengakibatkan bentrokan antara pihak kepolisian dan masyarakat yang tinggal di sekitar Pulau Rempang tidak dapat dihindari.
Baca Juga: Lantik 2.176 Perwira, Kalemdiklat Polri Ingatkan Tantangan Polisi Makin Kompleks
Ketua DPP NCW, Hanifa Sutrisna dalam konferensi pers di Kantor DPP NCW, Jakarta, seperti dikutip suara.com, Senin (2/10) menemukan bahwa setidaknya terdapat tujuh temuan yang didapati oleh pihaknya dalam polemik Rempang Eco-City.
Dari data yang NCW temukan, sebelum Pulau Rempang, ternyata Xinyi Glass pernah membuat MoU yang sama dengan Kawasan Industri Sadai tahun 2020 di Bangka dengan janji akan menyiapkan US$6-7 miliar
Investasi Xinyi di Belitung Belitung, kala itu digadang untuk menggarap pengolahan mineral tambang pasir kuarsa. Rencana investasi ini disampaikan General Manager (GM) International Business Development Xinyi Group Cheng Gang kepada Pj Gubernur Provinsi Bangka Belitung Ridwan Djamaluddin di Pangkalpinang pada November 2022.
Baca Juga: Polres Sukabumi Selidiki Sumber Sampah Kain yang Kotori Pantai Loji
Namun, begitu akan dilanjutkan untuk proses MoA (Memorandum of Agreement), Xinyi Glass seperti raib dan hilang tanpa kabar berita, dan beredar alasan belum dilanjutkan proyek industri kaca terbesar di ASEAN oleh Xinyi Glass karena tidak tersedianya gas di kawasan Bangka Belitung Industrial Estate, Sadai Bangka Selatan.
Hanifa juga singgung komitmen investasi Xinyi Glass bernilai US$700 juta di Gresik, Jawa Timur pada tahun 2022. Ketika itu Xinyi masuk dengan menggaet mitra lokal PT Berkah Kawasan Manyar Sejahtera (BKMS) untuk membeli lahan yang digunakan untuk pembangunan pabrik kaca.
Berdasarkan perjanjian tersebut, BKMS telah setuju untuk menjual lahan dan Xinyi telah setuju untuk membeli lahan yang luas dalam rangka pembangunan pabrik produksi Kaca Xinyi di Kawasan Ekonomi Khusus JIIPE (KEK JIIPE).
Baca Juga: Dinas PU Bangun Plat Beton di Jalan Cibadak-Nagrak Sukabumi
Progres investasi di Gresik juga tidak jelas ujungnya. Kondisi ini diduga karena rendahnya kemampuan keuangan Xinyi. Dugaan rendahnya kemampuan keuangan Xinyi Glass ini tercermin dalam laporan keuangan konsolidasi Xinyi Glass Holdings Limited Tahun 2022, yang diaudit EY Ernst & Young's.
“Hasil laporan keuangan E&Y ini membantah jika disebut Xinyi Group perusahaan berkelas dunia dengan jangkauan pasar global yang dominan. Faktanya, 68 persen penjualan Xinyi Glass di pasar lokal China, bukan dunia.” ungkap Hanifa.
Selanjutnya, Hanifa mengungkapkan bahwa hasil audit tersebut menunjukkan nilai property plant equipment Xinyi Group hanya US$2,2 miliar dan sales revenue sebesar US$3,4 miliar. Sedangkan consolidate net cash flow hanya US$41 juta.
Baca Juga: Dermaga di Ciemas Sukabumi Tak Miliki Izin PBG, DPRD Semprot Konsultan Proyek
"Lalu bagaimana mungkin Xinyi Group bisa investasi hingga US$11,5 miliar? Apakah hanya untuk menggoreng saham Xinyi Glass Holding Limited agar naik dan menguntungkan pihak-pihak yang terlibat dalam persekongkolan jahat 'investasi bodong' perusahaan pabrik kaca asal Tiongkok tersebut?" tegas Hanifa.
Setelah mencuatnya bentrokan masyarakat Pulau Rempang dengan Aparat, Hanifa menilai Xinyi akhirnya kena batunya. Insiden tersebut diduga membuat saham mereka turun hingga 20% pada 26 September 2023.
Adapun kenaikan saham Xinyi pada 29 September 2023 lalu, menurutnya tak lepas setelah adanya upaya dari Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang menegaskan bahwa investasi Rempang Eco City tetap akan dilanjutkan dengan 4 poin petunjuk dari Presiden Jokowi.
Baca Juga: 10 Cara Sederhana Menjaga Kesehatan Mental Demi Meraih Ketenangan Jiwa
“Ini sangat terencana dan tertata rapi bahwa Xinyi ini akan dinaikkan namanya, dibuat seolah-olah ini perusahan besar, yang dikatakan target berikutnya membangun pabrik kaca terbesar, sehingga investor akan memperebutkan membeli sahamnya,” ujar Hanifa.
Kemudian, NCW juga menyoroti studi Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) Proyek Eco City Rempang yang belum dituntaskan. Menurut NCW, hal tersebut terindikasi dari undangan Kepala Pusat Perencanaan Program Strategis BP Batam, Nomor B-4392/A2.1/PT.02/09/2023 tentang Konsultasi Publik Penyusunan Dokumen AMDAL Kawasan Rempang Eco City.
“Ini menjadi pertanyaan publik selanjutnya, apakah sebuah mega proyek bisa dilaksanakan dan dianggap sudah melewati proses kajian yang komprehensif sehingga layak untuk diteruskan?” ujar Hanifa.
Baca Juga: 7 Cara Mengatasi Anak yang Kecanduan Gadget, Lakukan Sebelum Makin Parah
Lantas, Hanifa melanjutkan, NCW juga menyoroti pernyataan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang mengklaim bahwa hanya 20% masyarakat Pulau Rempang yang tidak setuju untuk dipindahkan dan sebagian besar menolak karena tidak memiliki alas hak atas tanahnya.
“Namun rakyat di lapangan, menurut hasil penyelidikan dan pengumpulan data informasi dari sumber terpercaya dan pengaduan masyarakat ke DPP NCW, 80% masyarakat Pulau Rempang yang memiliki alas hak SHM, menolak untuk dipindahkan atau direlokasi ke lokasi baru,” ungkapnya.
Hanifa menjelaskan, pembiayaan relokasi dan penggusuran tanah masyarakat Pulau Rempang belum dialokasikan oleh pemerintah pusat atau pun BP Batam. "Kondisi ketidaksiapan anggaran ini menimbulkan tanda tanya besar kepada publik, kenapa masyarakat dipaksa segera pindah jika anggaran relokasi belum tersedia?" ujarnya.
Baca Juga: 7 Ciri-ciri Pria Langka Dilihat dari Karakternya, Kamu Termasuk?
awal mula Konflik lahan di Pulau Rempang terjadi pada tahun 2001 berawal dari diterbitkannya HPL ( Hak Pengelolaan Lahan) oleh pemerintah pusat dan BP Batam. HPL tersebut diterbitkan untuk perusahaan swasta, yang kemudian HPL tersebut berpindah tangan ke PT.Makmur Elok Graha (PT MEG).
Hanifa menegaskan bahwa hak guna usaha yang telah diterbitkan tersebut tidak digunakan atau lahan yang telah ditetapkan itu tidak dikelola oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, pada tahun 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati
"Apakah setelah sekian lama tidak dikelola oleh PT MEG, lahan yang jadi sengketa saat ini masih punya alas hukum yang kuat untuk diteruskan?" ujarnya.
Baca Juga: Pj Gubernur Jabar Melongo Lihat Tumpukan Sampah Kain di Pantai Loji Sukabumi
Hanifa menjelaskan, DPP NCW menemukan masih terus dilakukannya intimidasi oleh oknum APH dan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang meminta masyarakat yang terdampak relokasi di Pulau Rempang untuk segera menyetujui rencana relokasi ke lokasi baru yang belum tersedia hingga saat ini.
NCW mempertanyakan pernyataan Kepala BP Batam terkait setoran uang wajib tahunan (UWT) yang meminta dana APBN, padahal konsesi sudah diserahkan kepada pihak swasta PT MEG.
"Hitungan UWT dimaksud apakah 7000 rupiah dikalikan 17.600 hektare baru menjadi Rp1,2 triliun atau 7000an hektare dikalikan tarif UWT Rp 21.428/m2 menjadi Rp1,5 triliun?" tegas Hanifa.
Baca Juga: 11 Ciri Kesehatan Mental Seseorang Terganggu, Apakah Kamu Mengalaminya?
"Namun jika MEG dapat pengalokasian awal sejak 2001 seluas 16.583 hektare, maka UWT yang harus dibayar adalah Rp3,6 triliun (tarif Rp 21.750/m2), jadi sisa kewajiban UWT bagaimana ceritanya?" tambahnya.
Sumber : suara.com