SUKABUMIUPDATE.com - Jurnalis merupakan salah satu profesi yang paling banyak mendapatkan tindak kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Sebagai upaya untuk melindungi jurnalis dari kekerasan yang berbasis fisik maupun verbal, jurnalis bekerja dengan mendapat perlindungan dari Undang-undang Pers sejak 1999 silam.
Meskipun telah mendapatkan perlindungan khusus profesi, kasus kekerasan terhadap jurnalis cenderung meningkat setiap tahunnya. Sejak 2006, Aliansi Jurnalis Independen atau AJI mencatat setidaknya terdapat 1.017 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Bahkan, sejak 1996 terdapat setidaknya 10 jurnalis yang terbunuh, jumlah tersebut diperkirakan bisa lebih karena itu baru yang dapat dicatat oleh AJI. Dalam 3 tahun terakhir, yakni antara 2021 hingga 2023, seperti dilansir dari laman Advokasi.aji.or.id, terdapat 168 kasus kekerasan terhadap jurnalis dengan jumlah kasus tertinggi pada 2023 sebanyak 66 kasus.
Meski masih menginjak September, tetapi jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis pada 2023 melebihi jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis pada 2021. Dari 66 kekerasan terhadap jurnalistik yang terjadi pada 2023, jenis kekerasan yang paling sering dialami, yakni kekerasan fisik dengan jumlah sebanyak 16 kekerasan.
Baca Juga: AJI Jakarta dan LBH Pers Kecam Upaya Menghalangi Tugas Jurnalistik di KTT ASEAN
Sementara itu, bentuk kasus kekerasan lain terbanyak nomor dua pada 2023 yakni berupa ancaman dengan sebanyak 11 kasus. Jumlah tersebut meningkat secara signifikan dari tahun lalu, yang hanya sebanyak 1 kasus ancaman terhadap jurnalis.
Beberapa bentuk kekerasan lainnya, yakni seperti teror intimidasi, penuntutan hukum, pelarangan liputan, perusakan atau perampasan alat, penghapusan hasil liputan, serangan digital, kekerasan seksual atau berbasis gender, dan pelecehan terjadi sebanyak kurang dari 10 kasus.
Sementara itu, berdasarkan lokasi, masih dilansir dari laman resmi AJI, kasus kekerasan terhadap jurnalis terbanyak terjadi di Jawa Timur dengan kasus kekerasan terhadap jurnalis sebanyak 93 kekerasan.
Berikutnya, Sumatera Utara menempati posisi terbanyak kedua dengan jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis sebanyak 67. Selanjutnya, terdapat Jawa Barat yang menempati posisi ketiga dengan jumlah sebanyak 59 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Angka tersebut diperkirakan akan mengalami peningkatan, mengingat 2023 masih 3 bulan lagi berakhir. Sebelumnya, masih dilansir dari laman resmi AJI, Indonesia pernah mengalami puncak kekerasan terhadap jurnalistik pada 2020 dengan jumlah sebanyak 84 kasus kekerasan.
Adapun jumlah kasus sebanyak tersebut didominasi oleh intimidasi dan kekerasan fisik. Namun demikian, selain jumlah kasus kekerasan yang tertinggi selama AJI memonitor jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis, dari jumlah tersebut serangan digital terhadap jurnalis menjadi salah satu bentuk kekerasan yang paling dirisaukan karena mulai meningkat drastis pada 2020.
Meskipun secara konstitusional telah dilindungi oleh UU Pers, tetapi hal tersebut dianggap tidak efektif karena perlindungannya tidak holistik. Menurut Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito dalam menyebut bahwa selama ini tanggung jawab terhadap keselamatan jurnalis sebatas dibebankan pada perusahaan media, organisasi profesi, dan Dewan Pers.
Menurut Sasmito, dalam aspek perlindungan terhadap jurnalis, dibutuhkan sebuah terobosan baru. Lebih lanjut, Sasmito mendorong sebuah mekanisme nasional dengan melibatkan berbagai lembaga negara di Indonesia seperti LPSK, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KSP, Ombudsman untuk menciptakan sebuah mekanisme bersama yang dapat memiliki kekuatan lebih dalam melindungi jurnalis.
Selain itu, AJI melalui Sekjen AJI Indonesia, yakni Ika Ningtyas, turut memberikan rekomendasi mengenai mekanisme perlindungan nasional bagi jurnalis yang diadopsi dari Dewan Eropa. Rekomendasi tersebut terdiri dari empat pilar keamanan jurnalis, yakni pencegahan, perlindungan, penuntutan, dan promosi.
Sumber: Tempo.co