SUKABUMIUPDATE.com - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo buka suara mengenai insiden bentrokan yang terjadi antara polisi dengan warga di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Dilansir dari suara.com, dikabarkan beberapa warga ditangkap dan siswa di dua sekolah terdampak tembakan gas air mata dalam insiden tersebut.
Listyo Sigit menjelaskan, di sana sedang ada upaya pembebasan lahan yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam. Di saat yang bersamaan, ada warga yang ingin tetap berusaha menguasai lahan itu.
"Terkait dengan Pulau Rempang, di sana ada kegiatan terkait dengan pembebasan atau mengembalikan kembali lahan milik otoritas Batam yang saat ini mungkin dikuasai beberapa kelompok masyarakat," kata Kapolri kepada awak media di Jakarta Pusat, Kamis (7/9/2023).
Baca Juga: Nyaris Bentrok dan Bikin Ribut, Sejumlah Pelajar di Palabuhanratu Sukabumi Diangkut Polisi
Menurut Listyo, pihak BP Batam sudah melakukan berbagai upaya musyawarah dengan warga setempat. Termasuk dengan mempersiapkan relokasi dan ganti rugi terhadap lahan yang akan dilakukan pembebasan.
Namun ada beberapa masyarakat yang tetap berusaha untuk mempertahankan lahan tempat tinggalnya. Hal ini menyebabkan, polisi bergerak dan melakukan penertiban.
"Namun demikian karena ada beberapa aksi yang kemudian hari ini dilakukan upaya-upaya penertiban," ujarnya.
Listyo kemudian memastikan pihaknya akan mengedepankan musyawarah untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
"Upaya sosialisasi penyelesaian dengan musyawarah mufakat menjadi prioritas hingga kemudian masalah di Batam, Pulau Rempang bisa diselesaikan," tandasnya.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan aparat gabungan terhadap warga Pulau Rempang yang menolak direlokasi. Berdasar data yang mereka miliki, ada sekitar enam warga yang ditangkap. Selain itu puluhan orang luka, beberapa anak mengalami trauma, dan satu anak mengalami luka akibat gas air mata.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi menyebut pembangunan Rempang Eco City sejak awal perencanannya tidak partisipatif sekaligus abai pada suara masyarakat adat 16 Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang yang sudah eksis sejak 1834. Sehingga menurutnya wajar jika kekinian masyarakat menolak direlokasi.
”Atas dasar tersebut, kami Masyarakat Sipil di Riau, Masyarakat Sipil Nasional, dan 28 Kantor Eksekutif Daerah WALHI meminta Presiden mengambil sikap tegas untuk membatalkan program ini. Program yang mengakibatkan bentrokan dan berpotensi menghilangkan hak atas tanah, dan identitas adat masyarakat di 16 Kampung Melayu Tua di Rempang,” kata Zenzi.
Zenzi juga meminta BP Batam, Kapolda Kepulauan Riau, Kapolresta Barelang dan Komandan Panglima TNI AL Batam bertanggung jawab atas bentrokan yang terjadi.
"Tindakan aparat Kepolisian, BP Batam dan TNI yang memaksa masuk ke wilayah masyarakat adat Pulau Rempang, adalah pengabaian terhadap amanah konstitusi dan pelanggaran HAM secara nyata. Oleh karena itu Presiden harus memerintahkan kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk segera mencopot Kapolda Kepulauan Riau, Kapolres Barelang dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam karena telah melanggar konstitusi dan HAM,” pungkasnya.
SUMBER: SUARA.COM