SUKABUMIUPDATE.com - Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2023 sistem zonasi lalu menjadi sorotan dengan banyaknya masukan dan kritikan dalam pelaksanaannya. Sebab, masih ditemukan banyaknya dugaan kecurangan hingga manipulasi data.
Mengomentari persoalan dalam sistem zonasi, Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah sedang mempertimbangkan untuk melanjutkan atau menghapus sistem zonasi dalam PPDB. “(Sedang) dipertimbangkan. Akan dicek secara mendalam dulu plus minusnya,” kata presiden seperti dikutip tempo.co, Kamis, 10 Agustus 2023 lalu.
Masih mengutip tempo.co, sehari sebelumnya, Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani mengatakan Presiden Jokowi tengah mempertimbangkan untuk menghapus sistem zonasi PPDB. Menurut dia, kebijakan sistem zonasi PPDB telah melenceng dari tujuan awal. Sebab, bukannya menargetkan pemerataan sekolah unggulan justru menimbulkan masalah hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Ia pun meminta agar sistem ini dievaluasi.
Baca Juga: 2.45 Juta Remaja Indonesia Punya Gangguan Mental, Mayoritas Fobia Sosial?
Di tengah sepinya pemberitaan terkait sistem zonasi, mungkin karena kegiatan pembelajaran dan jadwal persekolahan sudah berjalan. Babak baru muncul terkait sistem zonasi yang kini dalam proses gugatan di Mahkamah Konstitusi.
Sistem zonasi penerimaan siswa baru membuat trauma siswa.
Leonardo Siahaan mengajukan permohonan perkara pengujian Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana untuk memeriksa permohonan Leonardo digelar di MK pada hari ini Rabu (30/8/2023) secara luring.
Mengutip laman resmi mkri.id, dalam persidangan, Leonardo menyebut dirinya merupakan anak pertama dan memiliki dua adik kandung laki-laki yaitu Simon Fransisco Siahaan dan Yoel Riski Siahaan. Kedua adiknya ini mengalami trauma ketika melakukan pendaftaran di sekolah negeri akibat sistem zonasi.
“Kerugian konstitusional terletak kepada adik kandung Pemohon memiliki trauma akibat sistem zonasi penerimaan siswa baru. Trauma ini muncul ketika melakukan pendaftaran di sekolah negeri yang jaraknya tidak jauh dari rumah Pemohon dan akhirnya adik kandung Pemohon atas keputusan orang tua Pemohon lebih memilih sekolah swasta. Sistem zonasi telah menyebabkan banyaknya masyarakat mengalami kerugian konstitusional yang bukan hanya terjadi pada dua adik kandung saya,” ujar Leo.
Baca Juga: Wanita Ini Kesurupan dan Guling-guling Lalu Masuk Jurang di Panenjoan Sukabumi
Leonardo menjelaskan aturan zonasi penerimaan siswa diatur dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan.
Menurut Leonardo, Permendikbud 44/2019) lahir dari perwujudan Pasal 11 ayat (1) UU 20/2023. dimana idealnya ia melakukan uji materil Permendikbud 44/2019 ke Mahkamah Agung. kemudian dengan alasan tertentu ia lebih memilih MK dalam menguji Pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas karena pasal tersebut masih satu rumpun dengan Permendikbud 44/2019.
Ia mengungkapkan, sistem zonasi tersebut banyak kelemahan. Peta koordinatnya pun kurang tepat. “Sistem ini mengutamakan ‘kedekatan jarak’ memanfaatkan aplikasi peta Google. Sering kali titik koordinat disebut tidak akurat sehingga menyebabkan calon murid gagal mengikuti PPDB,” tegasnya.
Selain itu, sistem zonasi rentan kelebihan kapasitas. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaan evaluasi pelaksanaan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) di daerah, ditemukan fakta bahwa Pemerintah Daerah kesulitan melakukan pemetaan jumlah usia anak sekolah yang sedang mengikuti PPDB dan jumlah daya tampung yang tersedia di sekolah. Sehingga dalam penerapannya cukup sulit dilaksanakan PPDB dengan jalur zonasi dengan persentase yang cukup besar.
Baca Juga: Ayah Bunda Harus Tahu! Ini 10 Cara Memperbaiki Mental Anak yang Sering Dimarahi
Kemudian, kata Leonardo, sistem zonasi juga disinyalir justru melahirkan kecurangan baru, yaitu manipulasi Kartu Keluarga agar anak bisa memasuki sekolah unggulan.
“Jadi, dapat dikatakan sistem zonasi ini sangat problematik yang bukan hanya dikatakan oleh Pemohon tetapi juga masyarakat luas yang dapat dikatakan domino effect. Kelemahan sistem zonasi cukup banyak. Tidak semua sekolah siap dengan sistem ini. Tujuan utama sistem zonasi untuk menyamaratakan kualitas Pendidikan. Tapi hal ini akan sulit jika sarana dan prasarana serta fasilitas belum merata. Kondisi mayoritas sekolah di Indonesia belum memenuhi standar yang layak ataupun berkualitas,” terangnya.
Leonardo dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi dan melarang penerimaan peserta didik melalui sistem zonasi atau kebijakan lainnya yang menimbulkan kesulitan peserta didik memperoleh pendidikan.”
Sumber : mkri.id