SUKABUMIUPDATE.com - Taman Nasional Way Kambas (TNWK) adalah sebuah taman nasional seluas 1.300 km² di provinsi Lampung, Sumatera bagian selatan, Indonesia. Kawasan TNWK terdiri dari hutan rawa dan hutan hujan dataran rendah, yang sebagian besar merupakan hutan sekunder akibat penebangan besar-besaran pada tahun 1960an dan 1970an.
Cerita di sekitar TNWK kini datang dari para perempuan desa yang miris dengan konflik Manusia vs Gajah. Konflik itu tak surut ditelan waktu, justru menyisakan sisa luka yang membekas di ingatan.
Sebelumnya perlu diketahui, mengutip SuaraLampung.id (portal suara.com), tulisan ini merupakan hasil training jurnalisme Lingkungan Berperspektif gender yang diselenggarakan Konde.co bekerja sama dengan Earth Journalism Network.
Fakta di lapangan menyebut, sejumlah laki-laki meninggal karena terinjak gajah liar. Konflik antara gajah dan manusia ini ditengarai karena maraknya perburuan liar hingga pembakaran hutan, akibatnya gerombolan gajah liar sering keluar hutan dan merusak tanaman petani.
Baca Juga: TBC dan Hutan, Cerita Minan Pemimpin Kelompok Orang Rimba di Jambi
Suara dentuman petasan memecah sunyi malam di pinggir hutan Way Kambas, Kecamatan Labuhanratu, Kabupaten Lampung Timur. Bola petasan yang pecah di udara mengeluarkan kilat cahaya memecah gelap sekejap waktu.
Fenomena yang terjadi pertengahan Juli 2023 itu bukan petasan yang menyambut tahun baru atau hari raya. Akan tetapi suara perjuangan para petani ketika mengusir gajah liar yang merangsek tanaman mereka.
Gajah-gajah ini sudah lama mendatangi kebun-kebun warga karena kehilangan tempat untuk hidup. Akibatnya, warga kembali menjadi korban amukan hewan besar itu.
Kondisi tersebut diduga akibat adanya perburuan ruang diantara gajah di dalam kawasan hutan TNWK karena jelajah gajah yang luas hingga ke rumah-rumah warga. Fakta di lapangan, yang melakukan pengusiran gajah liar yakni para laki-laki, namun bukan berarti tidak ada dampak bagi para perempuan terutama para istri.
Suami mereka setiap hari harus berjuang mempertahankan tanaman dari gajah gajah liar. Ada suami yang meninggal karena jadi korban terinjak gajah sehingga sang istri kemudian harus menjadi kepala keluarga.
Pertengahan Juli 2023, Suara.com bertandang di kediaman Sulastri di Desa Tambah Dadi, Kecamatan Purbolinggo, Lampung Timur. Wajah Sulastri seperti menyimpan perasaan dendam dan trauma begitu dalam ketika bicara tentang gajah.
"Udah, saya kalau bicara gajah- gajah bikin saya ngilu, yang saya ingat suami saya meninggal karena gajah liar," ucap perempuan 38 tahun ketika diminta keterangan tentang gajah liar, dikutip Minggu (27/8/2023).
Rumah Sulastri berbatasan langsung dengan hutan Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Depan rumah terdapat hamparan sawah sehingga sejauh mata memandang sudah terlihat rimbunan pohon hutan Way Kambas.
Meskipun agak berat, Sulastri akhirnya menceritakan peristiwa nahas yang dialami suaminya. Suaminya bernama Yarkoni, meninggal diinjak gajah saat menunggu tanaman yang tidak jauh dari rumah mereka.
Baca Juga: Cara Mengetahui Terinfeksi TBC atau Tidak, Apa Itu Tes Mantoux?
Rabu 9 November 2022 malam, merupakan kenangan paling pahit bagi Sulastri dan anak- anaknya.
Kala itu, Yarkoni ingin mempertahankan tanaman dari gajah liar agar mendapat hasil panen yang maksimal. Namun justru petaka yang didapat, ia kebingungan ketika mendapat kabar bahwa suaminya pingsan.
"Sekitar pukul 20.30 saya dapat kabar dari suami saya pingsan diinjak gajah, yang ada dalam benak saya kaki gajah begitu besar, bagaimana kalau sampai menginjak tubuh suami saya," tutur Sulastri.
Sulastri seakan tidak berdaya waktu itu ketika melihat tubuh suaminya Yarkoni dalam kondisi koma di salah satu Rumah Sakit di Kota Metro. Melihat suaminya terbaring diatas bed pasien, lebih lagi mendapat kabar bahwa tulang kaki dan rusuknya patah akibat injakan kaki gajah, Sulastri kebingungan minta ampun.
"Selang beberapa jam dari perawatan medis dinyatakan suami saya meninggal. Hati saya begitu trenyuh, saya mau menyalahkan siapa, apalagi yang menyebabkan kematian suami saya seekor binatang, bukan manusia, secara hukum pun saya tidak bisa berbuat apa-apa," jelas Sulastri.
Pasca kematian suaminya, perempuan berkulit sawo matang ini harus menjadi tulang punggung keluarga untuk kedua anaknya. Dengan memelihara tiga ekor sapi peninggalan Yarkoni, ia kemudian menjadikannya modal dan tabungan untuk keperluan hidup dan sekolah anak-anaknya.
Setelah Yarkoni meninggal, mereka tidak dapat bantuan atau asuransi untuk menyambung hidup, baik dari pihak Taman Nasional Way Kambas (TNWK).
Dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur juga tidak dapat. Hanya sedikit uang yang disebut uang tali kasih sebagi tambahan pelaksanaan doa pasca meninggalnya Yarkoni.
"Tidak ada asuransi hanya dapat uang Rp10 juta entah dari mana, yang pasti uang itu diberikan oleh pihak Balai TNWK untuk tambahan pelaksanaan yasinan selama 7 hari," terang Sulastri.
Saat ini Sulastri jadi perempuan kepala keluarga yang harus menghidupi 2 anaknya. Kematian sang suami seolah hanya menjadi sejarah kelam bagi keluarga mereka.
Kematian Yarkoni -akibat diinjak gajah-, tak pernah dikenang sebagai korban atau pejuang yang menyelamatkan tanaman di lingkungannya dari gajah liar. Tak ada penghargaan atau balas jasa dari pemerintah untuk Yarkoni.
Baca Juga: Desa Wisata Cisande Sukabumi, Suguhkan Wisata Alam Tengah Sawah hingga Ragam Edukasi
Siti Rokhayah juga mengalaminya. Para perempuan khususnya ibu rumah tangga yang ada di Dusun 1, Desa Rantau Jaya meronta dengan kondisi yang ada, yaitu konflik gajah liar yang selalu merangsek tanaman petani.
Meskipun perempuan di sana tidak berhadapan langsung dengan satwa dan hutan, tapi dampak yang tidak diinginkan juga dirasa oleh perempuan. Seperti setiap malam suami mereka harus menjaga tanaman dari pukul 19.00 hingga pagi hari.
"Dampaknya kami was-was, malam yang seharusnya bisa bersama dengan anak istri, suami harus bermalam di kebun, tapi semua itu demi utuhnya tanaman kami," kata dia.
Karena setiap ada kerusakan tanaman akibat gajah liar, Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur ataupun pihak Balai TNWK seolah tidak mau bertanggung jawab seperti mengganti rugi tanaman yang dimakan gajah liar.
Sulastri, sudah 7 bulan lamanya harus bekerja keras menghidupi dua anaknya. Sejak suaminya meninggal, dia harus bekerja sebagai buruh serabutan dengan penghasilan tidak menentu, dengan penghasilan tidak lebih dari 50 ribu per hari untuk kebutuhan makan sehari hari.
Ia tinggal di Desa Tambahdadi, Kecamatan Purbolinggo, Kabupaten Lampung Timur. Selain bekerja serabutan, setiap hari harus mencari rumput untuk pakan 3 ekor sapinya.
"Selama suami meninggal saya buruh apa saja, terutama buruh buruh di sawah, sambil mencari rumput untuk pakan sapi peninggalan suami,” kata dia.
Apalagi anaknya yang nomor dua masih usia 5 tahun membutuhkan banyak uang untuk keperluan sekolah, sementara anak pertamanya yang sudah lulus SMA sudah merantau mencari nafkah semenjak ayahnya meninggal. Selama 7 bulan, ia merasa berat untuk mencari nafkah dan menghidup anak-anaknya.
Perebutan Lahan Antara Gajah dan Manusia
Data yang didapat dari Wildlife Conservation Society (WCS), dari tahun 2000 hingga 2023 petani yang meninggal akibat serangan gajah liar sebanyak 5 orang. Tercatat tahun 2000, ada petani bernama Jiwon yang meninggal di tempat kejadian Desa Braja Asri, Kecamatan Way Jepara.
Selanjutnya tahun 2010 petani bernama Sumarjo warga Desa Tegalyoso, Kecamatan Purbolinggo, 2021 petani bernama Sutikno warga Desa Tegalyoso, Kecamatan Purbolinggo, dan ke lima tahun 2022 petani bernama Yarkoni warga Desa Tambahdadi, Kecamatan Purbolinggo.
"Itu catatan kami dari 2000 hingga 2022 ada lima orang yang meninggal akibat serangan gajah liar,"kata Koordinator WCS Sugio, Senin (15/8/2023) lalu.
Kronologinya semua sama, yakni ketika korban sedang menunggu tanamannya pada malam hari, dan rata-rata yang menjadi korban serangan gajah adalah laki-laki dengan usia di atas 45 tahun.
Alasan gajah keluar dari kawasan, kata Sugio, diduga akibat adanya perebutan ruang di antara gajah di dalam kawasan hutan TNWK. Karena jelajah gajah yang luas, mereka lalu pergi ke perkebunan warga.
Gajah termasuk hewan yang tidak mengenal batas kawasan. Gajah pendatang sudah mengenal makanan pertanian yang siap saji, karena gajah memiliki sifat oportunis yakni memilih mencari makan yang mudah.
"Selain itu gajah cukup mudah masuk ke lahan pertanian warga karena pembatas antara hutan dan peladangan hanya sebuah kanal yang mudah dilalui gajah liar," kata Sugio.
Populasi gajah yang ada di hutan Way Kambas adalah gajah asli Way Kambas dan gajah pendatang hasil program tata liman, yakni dari Kabupaten Way Kanan, Tulang Bawang, Mesuji, Lampung Utara, Lampung Barat dan Lampung Selatan.
Sugio pun tidak menampik dengan adanya perilaku manusia yang melakukan kegiatan ilegal dalam hutan Way Kambas. Misalnya melakukan perburuan hewan jenis menangan dan sebagainya hingga peristiwa kebakaran hutan turut menjadi penyebab gajah liar keluar dari dalam hutan.
Perburuan satwa dan kebakaran hutan menjadi pemicu gajah berjalan menghindari lokasi yang rawan perburuan dan kebakaran hutan mencari lokasi yang aman, yang akhirnya keluar hutan dan masuk ke areal pertanian penduduk," terang Sugio.
Baca Juga: Wisata Baru di Sukabumi Ini Suguhkan Panorama Sunset, Cocok Untuk Introvert!
Secara umum, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendapatkan data bahwa di sejumlah tempat seperti di Aceh, konflik satwa liar dengan manusia tak pernah berhenti. Ini diakibatkan karena tingginya alih fungsi hutan atau lahan dan banyaknya kegiatan ilegal yang terjadi di habitat gajah dan satwa liar lainnya yang merupakan penyebab konflik antara manusia dan gajah.
Di tahun 2014, WALHI pernah mencatat tentang konflik manusia dan gajah di Aceh dan menjadi konflik terbesar yang terjadi antara satwa dan manusia adalah gajah.
Menurut WALHI Aceh konflik satwa dengan manusia terjadi terutama untuk gajah, karena jalur tempat tinggalnya diganggu. WALHI mengkritisi kinerja lembaga konservasi perlindungan satwa yang lebih banyak melaporkan saat kejadian, seperti pemadam kebakaran.
Seharusnya harus ada upaya yang serius untuk melakukan pencegahan sejak awal, bukan sekedar menghitung jumlah kejadian dan angka kematian. Penting bagaimana konflik satwa harus diselesaikan secara terpadu dan perlu ada pertanggungjawaban atas kinerjanya selama ini.
*)Catatan: Tulisan ini merupakan hasil training jurnalisme Lingkungan Berperspektif gender yang diselenggarakan Konde.co bekerja sama dengan Earth Journalism Network.
Sumber: Suara.com/AgusSusanto