SUKABUMIUPDATE.com - Aksi damai menolak pembahasan Omnibus Law RUU Kesehatan telah dilakukan oleh lima organisasi profesi (Orprof) kesehatan yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Kesehatan Bangsa (Aset Bangsa). Diantaranya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Aksi demo hari ini, Senin (8/5/2023) menyuarakan soal keberlanjutan pembahasan RUU Kesehatan yang dinilai tidak perlu dilanjutkan. Mengingat masih banyak substansi yang bermasalah di dalamnya.
Baca Juga: 5 Organisasi Profesi Demo Tolak Omnibus Law RUU Kesehatan, Kepentingan Rakyat?
Tak hanya lima organisasi profesi kesehatan saja, nyatanya dua Organisasi Massa (Ormas) Islam di Indonesia juga pernah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap draf RUU Kesehatan. Kedua Ormas Islam tersebut yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
Muhammadiyah Tolak Omnibus Law RUU Kesehatan
Muhammadiyah, melalui website resminya menyuarakan telah menjadikan RUU Kesehatan sebagai salah satu perhatian karena menjadi salah satu polemik di masyarakat, khususnya Orprof Kesehatan. PP Muhammadiyah bersama Organisasi Profesi menilai bahwa RUU Kesehatan yang dikonsep dengan metode Omnibus Law itu tidak transparan & terdapat unsur monopoli oleh Menteri Kesehatan.
Majelis Hukum dan Ham (MHH) PP Muhammadiyah bahkan sempat menyelenggarakan diskusi publik secara daring, dalam rangka kajian dan advokasi ekonomi sosial kemanusiaan bersama dengan Muhammadiyah Tobacco Control Network (MTCN). Salah satu pembicaranya adalah Dr. H. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum. dari Ketua Pmpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Hikmah sekaligus mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia.
Busyro, saat diskusi publik menyebutkan bahwa dalam perumusan RUU Kesehatan saat ini dianggap tidak terdapat unsur demokratisasi. Ini karena Omnibus Law RUU Kesehatan tidak memperhatikan bahkan tidak melibatkan eksistensi masyarakat sipil termasuk didalamnya Muhammadiyah maupun organisasi masyarakat sipil lainnya sebagai unsur sosial.
“Dalam RUU Kesehatan mengandung kecenderungan sistem politik sentralistik dan paradigma sentralisme, bukan hanya RUU Kesehatan namun juga RUU lainnya seperti halnya mengenai Revisi KPK. Saat ini KPK tidak lagi dilemahkan namun juga di lumpuhkan secara institusional”, kata Busyro, dikutip via suara suaramuhammadiyah.id, Senin (8/5/2023).
Disisi lain, metode omnibus bertentangan dengan nilai–nilai outensik kebangsaan, yang mana termasuk dokumen resmi untuk tidak diubah. Artinya, mengubah isi dokumen tersebut berarti mengubah arah kebangsaan negara, yakni berkaitan dengan melawan kolonialisasi.
Karakter RUU Kesehatan yang tidak memihak dengan jujur kepada rakyat juga terlihat dari prosesnya yang tidak melibatkan masyarakat sebagai obyek hukum yang berkedaulatan. Adapun dalam hal ini, masyarakat disebut obyek hukum bukan negara maupun partai politik.
Nahdlatul Ulama (NU) Tolak Omnibus Law RUU Kesehatan
Sejalan dengan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama juga adalah Ormas Islam lain yang menolak RUU Kesehatan. Melansir dari NU Online, PBNU mempertanyakan soal penyejajaran Tembakau dengan Narkotika, Psikotropika, dan Alkohol dalam pasal 154, RUU Kesehatan.
Hal itu dianggap poin kontroversi dalam RUU Kesehatan sehingga menjadi polemik dan ditolak oleh NU dan beberapa organisasi profesi kesehatan. Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PBNU Nur Kholis turut bersuara menyangkut persoalan tembakau.
Kholis menyoroti nasib para pekerja yang menggantungkan hidupnya di dalam industri tembakau. Padahal, undang-undang yang dibuat seharusnya menjadi sebagai pemecah dari permasalahan sosial.
“Nah, masyarakat yang sangat bergantung dengan industri tembakau berjumlah 6 juta jiwa. Di mana letak penyelesaian masalahnya jika 6 juta jiwa ini terancam karena undang-undang ini?” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Ketua LBM PBNU KH Mahbub Ma'afi, ia mengatakan bahwa RUU Kesehatan merupakan regulasi yang kontroversi karena ada satu bagian yang secara eksplisit menyamakan produk olahan tembakau dengan zat adiktif lain. Kiai Mahbub mempertanyakan tentang aturan penggunaan kemasan dalam RUU Kesehatan lantaran heran, tidak ada peringatan di botol minuman keras.
“RUU ini juga menjadi kontroversial karena mengatur penggunaan kemasan. Masak kemasan rokok yang notabene beberapa ulama membolehkan diberi peringatan sedemikian besar, sementara botol miras tidak ada peringatannya?” ujar Kiai Mahbub.
Baca Juga: Kenali 8 Bahasa Tubuh Pria Cuek, Tanda-tanda Dia Jatuh Cinta Padamu
Sebelumnya diberitakan, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Jawa Barat melalui website resminya menyebut, IDI bersama organisasi profesi kesehatan lain menilai pembahasan yang menyangkut kesehatan masyarakat tidak bisa dilakukan terburu-buru. Sehingga aksi damai penolakan RUU Kesehatan ini yang dilakukan aliansi ini bukan semata-mata demi kepentingan organisasi profesi, melainkan demi kepentingan masyarakat.
Meski aksi damai menolak pembahasan Omnibus Law RUU Kesehatan tengah dilaksanakan, namun Adib memastikan pelayanan kesehatan terutama yang menyangkut urusan emergensi akan tetap berjalan. Artinya, pelayanan kesehatan seperti ICU, operasi hingga emergensi akan tetap bisa diakses masyarakat.
Lebih lanjut, jika tuntutan Aliansi ini tidak direspons oleh pemerintah, para organisasi profesi itu rencananya bakal melakukan aksi cuti layanan ke depannya.
“Jika memang aksi damai nasional ini tidak diberikan tanggapan kami akan melakukan langkah berikutnya yaitu cuti pelayanan,” kata dia, dikutip Senin (8/5/2023).
Adib turut memastikan seluruh anggota organisasi profesi kesehatan dilindungi hukum. Mereka akan dibuatkan posko pengaduan jika terjadi hal-hal yang menekan kebebasan bersuara.
Sumber: Berbagai Sumber