SUKABUMIUPDATE.com - Pemerintah dan DPR RI sekarang ini terus menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan.
Sayangnya rencana Penyusunan RUU Kesehatan dengan metode omnibus law tersebut dinilai membuat gaduh banyak pihak.
Beberapa pihak mengungkapkan bahwa Penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan dengan metode omnibus law itu harus mengedepankan tata cara penyusunan produk hukum yang baik agar tidak memunculkan masalah baru.
Baca Juga: AG Ngaku Diperkosa David, Faktanya 5 Kali Berhubungan Intim dengan Mario Dandy
Pasalnya, dalam draf RUU Kesehatan tersebut dikatakan jika hasil tembakau, seperti rokok disejajarkan dengan minuman alkohol dan narkotika. Padahal saat ini, narkotika dan psikotropika telah diatur oleh undang-undang tersendiri.
Melansir dari Suara.com, ketentuan tersebut tercantum dalam draf rancangan pasal 154 ayat (3) dengan bunyi, zat adiktif dapat berupa, narkotika, psikotropika, minuman beralkohol, hasil tembakau, dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Pakar Tata Negara dan Hukum Kesehatan Universitas Sebelas Maret, Sunny Ummul Firdaus, menilai ketentuan pukul rata zat adiktif ini menjadi klausul yang perlu diberikan penjelasan yang lebih komprehensif. Tujuannya agar tidak ada multitafsir yang kelak dapat memicu masalah lebih besar.
Baca Juga: 3 Link Nonton Gratis Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba Lengkap Semua Season
Sebab menurutnya jika dua kategori produk yaitu legal dan ilegal tersebut diperlakukan serupa, perlu ada penjelasan secara filosofis, empiris, dan yuridis karena dua kelompok produk ini memiliki aspek sosio kultural yang berbeda.
"Saya memahami niat Kementerian Kesehatan dalam mendorong revisi RUU Kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Namun Jika ada dua jenis produk yang kedudukannya di hadapan hukum berbeda namun diperlakukan dengan sama, maka harus dapat jelaskan apa original intent atau maksud yang sebenarnya terkandung di dalamnya. Sehingga tidak melanggar Pancasila dan UUD 1945 serta memberikan kerugian konstitusional bagi masyarakat," kata Sunny seperti dikutip.
Ia juga mempertanyakan apa maksud dari ketentuan penyamarataan ini di dalam revisi RUU Kesehatan.
"Apakah jika RUU Kesehatan terbit dengan ketentuan tersebut, dapat ditafsirkan jika masyarakat dapat memilih mau konsumsi rokok atau alkohol yang dianggap ilegal? Atau sebaliknya, narkotika dan psikotropika yang bisa dikonsumsi secara legal?" tanya dia.
Sunny turut menekankan revisi regulasi harus dikonstruksi secara jelas dan tegas agar tidak menimbulkan masalah baru.
Selain itu, Sunny juga mengingatkan ketentuan penyusunan regulasi nasional secara prosedural harus mengacu UU 12/2011 yang diperbaharui dalam UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan apa dampak yang akan muncul dari klausul zat adiktif tersebut jika disetujui," imbuh Sunny.
Sebagai catatan, revisi RUU Omnibus Law Kesehatan ini akan mencabut dan/atau mengubah sembilan undang-undang. Kesembilannya adalah UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit Menular, UU Praktik Kedokteran, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Kebidanan.
Omnibus Law Kesehatan juga mengubah UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Pendidikan Tinggi.
Sumber: Suara.com