SUKABUMIUPDATE.com - Perempuan Mahardhika Sukabumi menolak keras Permenaker nomor 5 tahun 2023 tentang penyesuaian waktu kerja dan pengupahan pada perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global.
Organisasi perempuan ini menuding, aturan yang diterbitkan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah pada tanggal 7 Maret 2023 tersebut diskriminatif, dan memberikan dampak pemiskinan pada buruh perempuan.
Sekadar diketahui, Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 ini menetapkan sejumlah pengaturan baru atas jam kerja dan pembayaran upah untuk buruh di lima industri padat karya berorientasi ekspor. Diantaranya industri tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, kulit, furniture, dan mainan anak.
Beleid tersebut membolehkan pengusaha untuk mengurangi jam kerja para buruh. Dalam Pasal 8 disebutkan pengusaha juga diperbolehkan memotong Upah sampai 25 persen dari upah yang biasa dibayarkan.
"Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa kategori industri padat karya yang dimaksud oleh Permen ini merupakan industri yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan, dimana fleksibilitas kerja dan upah sudah diterapkan sejalan dengan diterbitkannya Perppu Cipta Kerja," ujar Koordinator Perempuan Mahardhika Sukabumi, Lilis Suryati kepada sukabumiupdate.com, Selasa (21/03/2023).
Baca Juga: Termasuk Pabrik Tekstil dan Alas Kaki, Menaker Izinkan Pengusaha Potong Gaji Buruh
Menurut Lilis, sudah sejak lama buruh perempuan di industri padat karya selalu mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah. Mulai dari kebijakan penangguhan upah minim perlindungan, upah rendah, lingkungan kerja yang tidak aman dan pengabaikan hak maternitas dan reproduksi.
"Ini adalah cerminan bagaimana Menteri Ketenagakerjaan tidak pernah menjadikan buruh perempuan sebagai pusat di dalam membuat sebuah kebijakan. Alih-alih memberikan perlindungan dan mempertahankan kelangsungan bekerja, justru sebaliknya permen ini akan menghilangkan perlindungan," ungkapnya.
"Mengabaikan hak reproduksi buruh perempuan seperti cuti haid, cuti hamil, melahirkan dan cuti keguguran, serta menjadikan buruh tidak memiliki kepastian kerja ditengah kontrak kerja yang semakin pendek," lanjutnya.
Lilis menuturkan, pengurangan upah sebesar 25 persen adalah pelanggaran hak yang dilegalkan oleh Permenaker dan menjadikan buruh tidak menerima upah yang seharusnya mereka terima, sesuai dengan ketentuan upah yang berlaku.
"Upah minimum adalah hak dasar yang tidak boleh dilanggar, sehingga pengurangan waktu dan jam kerja seharusnya tidak boleh berkonsekuensi terhadap pengurangan upah buruh," kata dia.
Baca Juga: PHK Buruh di Sukabumi Berlanjut, SPN Ungkap Indikasi Pengusaha Mulai Anti Berserikat
Menurut Lilis, kebijakan pengurangan upah akan membuat hidup buruh perempuan semakin terpuruk di dalam kemiskinan. Upah minimum yang ditentukan oleh pemerintah, lanjut dia, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi jika dikurangi sejumlah 25 persen.
"Upah minimum Kabupaten Sukabumi sebesar Rp 3.351.883, jika dikurang 25 persen, maka seorang buruh akan menerima Rp 2.513.912, belum lagi potongan-potongan yang lain. Mana sanggup seorang buruh perempuan bisa bertahan dengan upah yang sangat kecil," tuturnya.
"Untuk bertahan hidup jalan pintas yang dipilih adalah dengan berhutang, baik itu kepada rentenir, pinjaman online, sampai koperasi yang akan menimbulkan kesengsaraan," imbuhnya.
Lilis menyebut, Permenaker nomor 5 tahun 2023 yang dikeluarkan oleh Menaker Ida Fauzia adalah kebijakan yang merugikan dan tidak melindungi buruh, khususnya buruh perempuan, yang justru memberi peluang bagi pengusaha untuk mengeksploitasi tenaga kerja perempuan dan merampas upah buruh lebih banyak.
"Dalam situasi krisis seharusnya pemerintah memberikan banyak perlindungan dan menjamin kepastian kerja bagi setiap orang. Sehingga krisis global jangan dijadikan alasan untuk mengurangi perlindungan," tegasnya.
"Kami menuntut agar Menteri Ketenagakerjaan segera mencabut Permenaker nomor 5 tahun 2023 dan memperbanyak jaminan perlindungan bagi buruh perempuan," tandasnya.