SUKABUMIUPDATE.com - Empat puluh lima tahun lalu, Presiden Soeharto meresmikan tol pertama di Indonesia, Tol Jagorawi. Jalan bebas hambatan berbayar ini terbentang sepanjang 50 kilometer melalui Jakarta, Bogor, dan Ciawi. Jalan tol ini populer dengan akronim Jagorawi dan menjadi akses menuju Sukabumi.
Hadirnya Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Tol Bocimi) sepanjang 54 kilometer dengan empat seksi, terutama Seksi 1 Ciawi-Cigombong (beroperasi Desember 2018) dan Seksi 2 Cigombong-Cibadak (sedang dikerjakan dan terkoneksi dengan Bogor melalui Tol Jagorawi), dapat mengurangi waktu tempuh dari Jakarta menuju Sukabumi.
"Jalan Tol Jagorawi adalah jalan terbaik yang kita miliki," ujar Presiden Soeharto dalam upacara peresmian Tol Jagorawi pada 9 Maret 1978 di Pondok Gede, Jakarta Timur.
Menelan Biaya Besar
Mengutip tempo.co, pembangunan Tol Jagorawi mulai dilakukan oleh Presiden Soeharto pada 1973. Proyek ini merogoh biaya yang cukup besar. Besaran anggaran pembangunan Tol Jagorawi menelan biaya hingga Rp 350 juta per kilometer.
Namun, Menurut M Sudarta, dalam buku Membuka Cakrawala: 25 Tahun Indonesia dan Dunia dalam Tajuk Kompas, nominal tersebut bertambah menjadi 575 juta rupiah per kilometer pada 1990, yang dihitung dengan kurs rupiah pada saat itu. Tol Jagorawi ini jugalah proyek pertama yang didanai APBN dan utang luar negeri.
Baca Juga: Uji Coba Pembayaran Tol Nirsentuh, Tiang Sensor MLFF Mulai Dipasang di Jagorawi
Wacana Pembangunan dari Sebelum Orde Baru
Meski pembangunan dilakukan pada tahun 1973 dan selesai pada 1978, wacana pembangunan Tol Jagorawi sudah muncul jauh sebelum itu. Wacana ini juga bukan datang dari Presiden Soeharto itu sendiri.
Raden Soediro namanya. Dikutip dari BUMN Info, dia merupakan pencetus ide pembangunan Tol Jagorawi. Raden Soediro merupakan seorang wali kota (saat itu, setingkat gubernur) Jakarta periode 1953–1960.
Menurut buku Sudiro: Pejuang Tanpa Henti, ide pembangunan jalan bebas hambatan berbayar ini muncul dari Raden Soediro karena kondisi keuangan Jakarta yang menipis. Kondisi keuangan yang menipis ini merupakan dampak dari pembiayaan untuk pembangunan Jalan Jenderal Sudirman dan MH Thamrin.
Dengan membangun tol ini, Raden Soediro mengharapkan pemasukan yang dapat menambah keuangan Jakarta. Kemudian, bersama Badan Pemerintah Harian Kotapraja Jakarta, ide ini dia sampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara.
Namun, ide Raden Soediro ditolak oleh sebagian besar anggota dewan. Alasan penolakannya adalah karena proyek pembangunan jalan tol itu berisiko menghambat mobilitas lalu lintas. Alasan lain yang juga muncul adalah konsep jalan berbayar ini dapat menimbulkan perpecahan, seperti pada masa kolonial Belanda.
Sumber: Tempo.co