SUKABUMIUPDATE.com - Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan E. Ramos Petege, pemuda asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Provinsi Papua.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 di Jakarta, Selasa, 31 Januari 2023.
Mengutip tempo.co, MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan dalam pernikahan terdapat kepentingan dan tanggung jawab agama dan negara yang saling berkaitan.
“Maka melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, MK telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Selasa, 31 Januari 2023 seperti dilansir laman resmi MK.
Baca Juga: Ada 30 Usaha di Pesta Pernikahan, Geliat Ekraf Bisnis Wedding Organizer di Sukabumi
Pernikahan Adalah Prasyarat, Bukan Hak
Enny menjelaskan, berdasarkan rumusan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, ada dua hak yang dijamin secara tegas, yaitu hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan. Adapun frasa berikutnya menunjukkan bahwa perkawinan yang sah merupakan prasyarat dalam rangka perlindungan kedua hak yang disebutkan sebelumnya.
Artinya, perkawinan bukan diletakkan sebagai hak, melainkan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan. Sehingga berdasarkan uraian tersebut maka telah jelas bahwa dalam konteks perlindungan hak untuk menikah terdapat perbedaan mendasar antara Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dengan UUD 1945.
Sebagai negara hukum yang menegakkan supremasi konstitusi, maka tanpa mengesampingkan hak asasi yang bersifat universal dalam UDHR, sudah seharusnya MK menjadikan UUD 1945 sebagai landasan utama dalam menilai hak konstitusional warga negara.
“Tidak dapat membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan apabila tidak dilakukan melalui perkawinan yang sah. Dengan menggunakan kaidah hukum, sesuatu yang menjadi syarat bagi suatu kewajiban, hukumnya menjadi wajib, maka perkawinan yang sah juga merupakan hak konstitusional yang harus dilindungi,” kata Enny.
Negara dapat Campur Tangan dalam Urusan Pernikahan
Pertimbangan hukum berikutnya dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin yang mengungkapkan, ihwal keberadaan negara dalam mengatur perkawinan, MK pernah mempertimbangkannya dalam Putusan Nomor 56/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Juli 2018. Berkenaan dengan beragama pada dasarnya terbagi menjadi dua.
Pertama, beragama dalam pengertian meyakini suatu agama tertentu yang merupakan ranah forum internum yang tidak dapat dibatasi pemaksaan bahkan tidak dapat diadili. Kedua, beragama dalam pengertian ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati Nurani di muka umum yang merupakan ranah forum externum.
Dalam konteks ini, pernikahan merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai suatu ekspresi beragama. Dengan demikian, perkawinan dikategorikan sebagai forum eksternum di mana negara dapat campur tangan.
Baca Juga: 10 Ide Souvenir Pernikahan Unik, dari yang Murah Hingga Mahal
Peran negara bukan untuk membatasi keyakinan seseorang melainkan lebih dimaksudkan agar ekspresi beragama tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut. Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU 1/1974.
Oleh karena itu, segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal menyangkut urusan pernikahan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan.
Negara Menjamin Status Hukum Warga Negara Melalui Pernikahan yang Sah
Wahiduddin mengatakan bahwa campur tangan negara dalam penyelenggaraan perkawinan tidak sampai menjadi penafsir agama bagi keabsahan perkawinan. Dalam hal ini negara menindaklanjuti hasil penafsiran lembaga atau organisasi keagamaan untuk memastikan bahwa perkawinan harus sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Menurut MK, ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 memberikan suatu koridor bagi pelaksanaan perkawinan bahwa agar perkawinan sah maka perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Berlakunya ketentuan pasal 2 ayat (1) bukan berarti menghambat ataupun menghalangi kebebasan setiap orang untuk memilih agama dan kepercayaannya.
Kepentingan negara in casu pemerintah adalah mencatat sebagaimana mestinya perubahan status kependudukan seseorang sehingga mendapatkan perlindungan, pengakuan, status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan tersebut termasuk dalam hal ini pencatatan perkawinan yang dilakukan melalui penetapan oleh pengadilan.
Mahkamah menilai ketentuan tersebut harus dipahami sebagai pengaturan di bidang administratif kependudukan oleh negara karena perihal keabsahan perkawinan adalah tetap harus merujuk pada norma Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974, yaitu perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Pengaturan pelaksanaan pencatatan perkawinan di atas menunjukkan tidak ada persoalan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan.
Justru dengan adanya pengaturan pencatatan perkawinan bagi setiap warga negara yang melangsungkan perkawinan secara sah, menunjukkan bahwa negara berperan dan berfungsi memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan dengan prinsip peraturan perundang-undangan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945.
Sumber: Antara via Tempo.co