SUKABUMIUPDATE.com - Eks Presiden Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ibnu Khajar divonis hukuman 3 tahun penjara. Dia divonis bersalah dalam kasus penggelapan dana bantuan sosial Boeing untuk korban kecelakaan Lion Air JT 610.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun,” kata Ketua Majelis Hakim Hariyadi saat membacakan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (24/1/2023) dilansir dari tempo.co.
Hakim menyatakan terdakwa Ibnu Khajar yang merupakan eks presiden ACT periode 2019-2022, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan penggelapan dalam jabatan sebagaimana dakwaan primair. “Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat luas, khususnya penerima manfaat dan ahli waris korban pesawat Boeing,” kata hakim.
Baca Juga: Pikat Turis Timur Tengah, Karang Kontol Sukabumi Diserbu Wisatawan saat Libur Imlek
Kuasa hukum Ibnu Khajar mengatakan pihaknya masih mempertimbangkan apakah akan mengajukan banding atau tidak terhadap vonis tersebut.
Sebelumnya, majelis hakim telah memvonis pendiri dan mantan Presiden Yayasan Aksi Cepat Tanggap atau ACT Ahyudin dengan hukuman penjara 3 tahun 6 bulan dalam perkara.
Kasus ini berawal ketika The Boeing Company menyediakan dana santunan untuk 189 penumpang dan kru pesawat yang meninggal kepada ahli waris.
Baca Juga: Kenali 6 Bahasa Tubuh Wanita, Tanda-Tanda Dia Jatuh Cinta Padamu
Boeing menyediakan dana Boeing Financial Assitance Fund (BFAF) dan Boeing Community Invesment Fund (BCIF) masing-masing USD 25 juta. Ahli waris korban menerima dana BFAF USD 25 juta secara langsung. Sementara dana Rp 25 juta BCIF diperuntukkan sebagai bantuan finansial komunitas lokal. Namun bantuan itu tidak diterima langsung oleh ahli waris, melainkan dikelola pihak ketiga atau badan amal.
Boeing tidak menunjuk langsung badan amal yang akan mengelola dana ini, tetapi hanya menetapkan syarat penerima dana. Perusahaan pun mendelegasikan kewenangan ini kepada Adminsitrator Mr. Feinberg dan Ms. Biros untuk menentukan progam individual, proyek atau badan amal yang akan didanai BCIF. Akan tetapi badan amal yang akan mengelola ditunjuk oleh ahli waris.
“Secara aktif pihak Yayasan ACT menghubungi keluarga korban dan mengatakan telah mendapat amanah ditunjuk dari Boeing sebagai pengelola dana sosial BCIF,” bunyi dalam dakwaan seperti dikutip dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jaksel, Selasa, 15 November 2022.
Baca Juga: Kronologi Pembakaran Alquran di Swedia oleh Rasmus Paludan
Padahal, Boeing tidak menetapkan badan amal atau pihak ketiga yang akan mengelola dana tersebut. ACT kemudin meminta keluarga korban mengisi dan menandatangani formulir pengajuan yang dikirim ke Boeing agar dana BCIF bisa dicairkan kepada ACT. Dalam email tersebut, ACT meminta dana BCIF sebesar USD 144.500 per ahli waris.
Pada Oktober 2018, pembangunan fasilitas sosial yang direkomendasikan oleh 68 ahli waris kepada ACT mulai dilakukan. Namun pengerjaan proyek tersebut mangkrak. Sampai saat ini ACT juga belum memberikan progres pekerjaan kepada Boeing terkait implementasi pengelolaan dana sosial.
“Namun berdasarkan klausul Boeing, Yayasan ACT wajib melaporkan hasil pekerjaannya,” sebut jaksa dalam dakwaan.
Baca Juga: Persib vs Borneo FC: Bek Maung Bandung Henhen Herdiana Siap Kurangi Kesalahan
Proyek yang dikelola oleh ACT terkait dengan dana sosial Boeing berjumlah 70 proyek dari 68 ahli waris, di mana ada satu ahli waris yang mengajukan dua proyek.
Pada pelaksanaannya, penyaluran dana Boeing (BCIF) tersebut tak melibatkan para ahli waris dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan proyek.
Pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap tidak memberitahukan kepada pihak ahli waris terhadap dana BCIF yang diterima dari pihak Boeing. Diduga pengurus Yayasan ACT melakukan penggunaan dana tidak sesuai peruntukannya untuk kepentingan pribadi berupa pembayaran gaji dan fasilitas pribadi, operasional perusahaan serta kegiatan lain di luar program Boeing.
Tersangka Ahyudin, Ibnu Khajar, dan Heriyana diduga telah menggunakan dana BCIF sebesar Rp 117,98 miliar untuk kegiatan di luar implementasi Boeing tanpa seizin dan sepengetahuan dari ahli waris korban kecelakaan Maskapai Lion Air Pesawat Boeing 737 Max 8 maupun dari perusahaan Boeing sendiri.
Sumber: Tempo.co