SUKABUMIUPDATE.com - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah resmi disahkan Presiden Jokowi per 30 Desember 2022.
Pengesahan Perpu No 2/2022 ini menurut Airlangga Hartanto didasarkan pada kebutuhan mendesak negara terhadap upaya percepatan antisipasi kondisi global.
Ancaman Stagflasi, peningkatan inflasi hingga resesi ekonomi adalah tiga kondisi global yang diantisipasi tersebut.
Pendapat Bank Indonesia dalam laman resmi katadata.id menyebut perekonomian dunia saat ini bukan hanya dibayangi risiko resesi tetapi juga stagflasi.
Hal ini tidak lepas dari langkah agresif banyak bank sentral menaikkan suku bunga, meski penyebab inflasi bukan dari sisi demand atau permintaan.
Gubernur BI Perry Warjiyo juga melihat risiko perlambatan ekonomi dunia yang mengarah kepada resesi akibat langkah agresif kenaikan suku bunga di banyak bank sentral, termasuk diantaranya bank sentral AS (The Fed) dan Eropa (ECB).
Dikutip dari berbagai sumber, berikut penjelasan dari stagflasi, inflasi dan resesi yang menjadi alasan mendesak disahkannya Perpu No 2/2022 Cipta Kerja:
Baca Juga: Tok! Jokowi Sahkan Perpu No 2/2022 Cipta Kerja, Airlangga Hartanto: Kebutuhan Mendesak
1. Ancaman Stagflasi Mendesak Pengesahan Perpu No 2/2022
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Stagflasi didefinisikan sebagai keadaan inflasi yang sangat tinggi dan berkepanjangan, ditandai dengan macetnya kegiatan perekonomian.
Stagflasi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi perekonomian yang stagnan di tengah tekanan inflasi yang tinggi. Situasi stagflasi tergambar jelas dalam kondisi perekonomian dunia saat ini.
Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas prospek pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2023 sebanyak 0,2 poin persentase lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Perkiraan inflasi 2023 juga diprediksi bakal lebih tinggi 0,8 poin dari perkiraan Juli.
Bank Indonesia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3% pada tahun ini menjadi 2,6% pada tahun depan.
Perlambatan terlihat terutama di dua kawasan utama, yakni Amerika Serikat dan Eropa. Sementara Cina diperkirakan tumbuh lebih kuat pada tahun depan dibandingkan tahun ini tetapi masih tumbuh di bawah 5%.
"Sehingga gejolak atau tantangan ekonomi global itu menimbulkan risiko perlambatan ekonomi bahkan sejumlah negara berisiko resesi dan stagnasi," kata Perry, seperti dikutip Senin (2/1/2023).
Perry mengatakan, ekonomi dunia kini menghadapi fragmentasi karena berbagai gejolak.
Perang di Ukraina mengganggu proses perekonomian dunia yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi. Apalagi ditambah dengan ketegangan geopolitik yang memperburuk kenaikan harga pangan dan energi.
2. Peningkatan Inflasi Mendesak Pengesahan Perpu No 2/2022
Menurut KBBI, Inflasi adalah kemerosotan nilai uang (kertas) karena banyaknya dan cepatnya uang (kertas) beredar sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebelumnya telah mengajak seluruh kepala daerah di Indonesia untuk kompak bersama-sama menghadapi ancaman inflasi. Menurut Jokowi, persoalan krisis ekonomi penyebab inflasi dapat diatasi jika semua kepala daerah ikut ambil peran.
Jokowi menjelaskan, saat ini kondisi ekonomi dunia mengalami banyak ancaman akibat pandemi Covid-19 hingga perang Rusia-Ukraina. Jokowi bahkan menyebut kondisi ekonomi di tahun 2023 bakal lebih gelap dibandingkan saat ini karena kedua faktor tersebut.
Lebih lanjut, Jokowi menyebut sektor penyumbang inflasi terbesar di Indonesia ada pada sektor pangan.
Presiden RI ini mencontohkan cabai merah menyumbang 0,28 persen dari total inflasi 4,6 persen. Menurut Jokowi hal ini terjadi karena rendahnya produksi cabai hingga membuat kelangkaan dan harganya mahal.
Baca Juga: Inflasi Kota Sukabumi Meningkat, Transportasi Masuk Top 3 Pengeluaran Tertinggi
3. Ancaman Resesi Ekonomi Global jadi Alasan Mendesak Pengesahan Perpu No 2/2022
KBBI mendefinisikan Resesi sebagai kelesuan dalam kegiatan dagang, industri, dan sebagainya (seolah-olah terhenti); menurunnya (mundurnya, berkurangnya) kegiatan dagang (industri).
Disebutkan juga, resesi ekonomi ini menimbulkan pengangguran di negara-negara industri.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani telah waspada terhadap potensi resesi yang menghantui Indonesia.
Ancaman kemungkinan Resesi Ekonomi semakin terlihat setelah RI masuk ke dalam peringkat 14 dari 15 negara di Asia berdasarkan survei Bloomberg terbaru.
Sri Mulyani menuturkan seluruh instrumen kebijakan akan digunakan, baik kebijakan fiskal, moneter, sektor keuangan, hingga regulasi lain untuk mengawasi kemungkinan resesi tersebut, terutama regulasi dari korporasi di Tanah Air.
Menurut survei, Indonesia menempati peringkat 14 dengan kemungkinan resesi sebesar tiga persen, jauh dari Sri Langka yang menempati posisi pertama dengan potensi resesi 85 persen.
Di bawah Sri Langka masih ada pula Selandia Baru dengan persentase 33 persen, Korea Selatan 25 persen, Jepang 25 persen, dan China 20 persen.
Meski tak akan terlena, Sri Mulyani berpendapat persentase potensi resesi Indonesia yang sangat rendah ini menggambarkan ketahanan pertumbuhan ekonomi domestik, indikator neraca pembayaran, hingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kuat.
Baca Juga: Bertemu DPRD, Buruh Sukabumi Sampaikan Sederet Masalah di UU Cipta Kerja
Sebelumnya diketahui, Perppu No 2/2022 diterbitkan guna memperbaiki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Penerbitan Perpu No 2/2022 termasuk bentuk terobosan dan kepastian hukum untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif.
Perpu No 2/2022 juga terbit dengan metode omnibus untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Adapun Menko Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartanto turut menambahkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait Undang-Undang Cipta Kerja sangat memengaruhi perilaku dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sumber : berbagai sumber.