SUKABUMIUPDATE.com - Kata begal adalah istilah kejahatan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Dugaan pembegalan juga pernah terjadi di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, dikutip dari sukabumiupdate.com. Kejahatan begal tersebut berupa aksi pencurian sepeda motor dengan kekerasan pada Jumat dini hari sekira pukul 03.00 WIB, 2 Desember 2022.
Korban pembegalan diketahui adalah pemuda bernama Raka Saputra (18 tahun), warga Kelurahan Cipanengah, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi.
Baca Juga: Begal Motor di Sukaraja Sukabumi! Korban Ditendang dan Diacungi Sajam
Terbaru, meski bukan di Sukabumi, dilaporkan kondisi terkini tiga orang pelaku kejahatan di Cilincing, Jakarta Utara yang merupakan pelaku begal handphone warga dengan celurit. Pelaku begal yang masih dibawah umur itu kemudian diamuk warga mulai dari dipukul pakai kursi plastik hingga dihajar menggunakan gesper.
Kata begal disebutkan sebagai penyamun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sementara, penyamun sendiri adalah orang yang menyamun, perampok atau perampas.
Baca Juga: Begal Handphone, Kondisi Terkini 3 Pemuda yang Dihajar Kursi Hijau Hingga Hancur
Definisi tersebut ditulis oleh Muhammad Syafik pada tahun 2017 dalam penelitiannya yang berjudul "Faktor-Faktor Terjadinya Kejahatan Begal dan Upaya Penanggulangannya di Daerah Istimewa Yogyakarta".
Syafik (2017) menyebutkan kejahatan begal adalah kegiatan merampok atau mencuri disertai aksi kekerasan oleh seseorang kepada korban. Kejahatan begal dikategorikan sebagai jenis kejahatan terhadap harta benda, tertuang dalam buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), termasuk jenis Pencurian disertai dengan Kekerasan, Pasal 365.
Baca Juga: Luka Tusuk Sekujur Tubuh, Pria Korban Begal di Cisolok Sukabumi Bernama Ajudin
Berdasarkan konstruksi umum aspek hukum terkait, begal adalah pencurian. Ada 6 Pasal dalam KUHP tentang Pencurian mulai dari Pasal 362 sampai Pasal 367. Pasal 362 sebagai dasar pencurian berarti mengambil barang milik orang lain baik sebagian maupun seluruhnya untuk dimiliki sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum.
Sementara khusus untuk kejahatan penyamun, Pasal 365 KUHP kemudian memberikan batasan pendekatan atas ”begal” dari pencurian. Hal ini karena sebelum pembegalan dilakukan, para begal biasanya memberikan tindak kekerasan atau ancaman terhadap korban dengan tujuan mempermudah proses pencurian.
Baca Juga: Modus Mau Pipis, Korban Begal di Cisolok Sukabumi Tukang Ojek Kidang Kencana
Pasal 365 turut menyebutkan sanksi atas para begal yakni pidana penjara maksimal sampai 15 tahun.
Tepatnya, pasal 365 ayat (2) menyatakan ancaman pidana 12 tahun jika pembegalan dilakukan oleh dua orang atau lebih dan mengakibatkan luka-luka berat. Kemudian, pasal 365 ayat (3) menyebut pelaku diancam pidana penjara 15 tahun jika pembegalan mengakibatkan korban meninggal dunia.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga menegaskan jika kejahatan begal disertai pemerkosaan terhadap korban maka hukuman akan diikuti dengan ancaman pemerkosaan. Diatur dalam tindak pidana pemerkosaan, Pasal 285 KUHP yang berbunyi:
"Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun."
Baca Juga: Benarkah Wisatawan Asing Protes Soal Soal Larangan Kumpul Kebo di KUHP Baru?
Lantas, Bagaimana Aspek Hukum Jika Korban Begal Melawan hingga Pelaku Tak Bernyawa?
Jawaban pertanyaan tersebut mengacu pada Telaah Hukum, ditulis oleh Dosen Hukum dan Peneliti, Lembaga Pengembangan Wilayah Nusa Tenggara Barat dalam situs lpwntb.or.id.
Telaah Hukum "Begal Dibunuh-Korban Jadi Tersangka" menyinggung soal prinsip non scripta sed nata lex, yakni tidak selayaknya orang yang melakukan pembelaan terpaksa dijatuhi pidana.
Hal tersebut diatur berdasarkan Pasal 48 dan Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 48 berbunyi “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.".
Baca Juga: Pemerintah Soal Kertas Protes KUHP di Motor Pelaku Bom Bunuh Diri di Bandung
Kemudian Pasal 49 terdapat dua ayat yang harus diperhatikan.
Ayat (1), yaitu Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.
Ayat (2), yaitu Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Secara teoritis, Peneliti Lembaga Pengembangan Wilayah NTB menegaskan bahwa Pasal 48 merupakan terjemahan dari Daya Paksa (overmacht) dan Pasal 49 merujuk pada konsep Pembelaan Terpaksa (noodweer).
Ketentuan Pasal 48, tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan daya paksa dan dalam keadaan apa unsur daya paksa dapat diterapkan dalam fakta, sama halnya dengan Pasal 49 tentang pembelaan terpaksa.
Sehingga, yang menjadi sorotan adalah tidak ada uraian lebih lanjut indikator atau garis batas ketentuan Pasal 48 dan Pasal 49.
Baca Juga: Ledakan Bom di Polsek Anstana Anyar: Potongan Tubuh dan Motor Bertuliskan Protes KUHP
Namun demikian dalam rangka menjangkau makna Pasal 48 dan Pasal 49, perhatian dapat difokuskan pada tinjauan teoritis dan penjelasan Memorie van Toelichting (penjelasan KUHP).
Daya paksa (Pasal 48), dapat digariskan sebagai perbuatan yang dilakukan karena pengaruh atau tekanan dari luar, sehingga fungsi batin tidak dapat bekerja secara normal.
Sedangkan pembelaan terpaksa Pasal 49 ayat (1), justru harus berupa pembelaan, dengan ada hal-hal memaksa terlebih dahulu harus sebelum perbuatan, seperti serangan ataupun ancaman serangan.
Kemudian, kondisi lain yang diatur dalam Pasal 49 ayat (2) meliputi reaksi keterlaluan dari pembelaan terpaksa, pembelaan tidak seimbang dengan serangan dan ada tekanan tidak normal akibat guncangan jiwa misalnya seperti rasa takut, bingung dan marah.
Selanjutnya, kategori daya paksa yang selanjutnya disebut overmacht, harus memenuhi tiga peristiwa pokok, diantaranya pemaksaan fisik, psikis dan keadaan pertentangan kewajiban hukum.
Sementara kategori pembelaan terpaksa perlu memperhatikan unsur serangan yang bersifat melawan hukum, bahaya yang berdampak langsung bagi tubuh, kehormatan atau benda milik sendiri atau orang lain, dan keperluan untuk meniadakan bahaya serta tidak ada cara lain.
Baca Juga: AJI Bandung Hari Ini: 17 Menit Diam Menolak 17 Pasal Bermasalah di RKUHP
Oleh karena pembentuk undang-undang tidak menjelaskan lebih detail tentang daya paksa (overmacht) dan pembelaan terpaksa (noodweer) yang dianggap telah terjadi, maka penentuan kasus diserahkan kepada hakim sepenuhnya.
Berdasarkan hal tersebut, jika korban begal Melawan hingga Pelaku Tak Bernyawa maka Korban belum tentu dinyatakan sebagai tersangka. Namun perlu ditinjau jenis pembelaan masuk kategori daya paksa atau pembelaan terpaksa.
Peran Aparat menjadi penting dan dibutuhkan dalam penyidikan kasus untuk mengungkap fakta kejahatan, baik sisi penegakan hukum di Indonesia.
Sumber : lpwntb.or.id