SUKABUMIUPDATE.com - Kepala BPOM RI, Penny K Lukito mengumumkan data terbaru merk obat sirup yang tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di luar ambang batas. Ada tujuh obat sirup yang menyalahi aturan tingkat kandungan cemaran EG-DEG, di produksi oleh 3 pabrik atau perusahaan farmasi yang tengah dipidanakan oleh BPOM bersama Polri.
Menurut Penny, keujuh obat sirup itu diproduksi oleh PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Afi Farma. Ketiganya disebut tak melaporkan pergantian sumber bahan baku, juga tak melakukan pengujian pada sumber bahan baku yang digunakan.
Penny menjelaskan, dari hasil pemeriksaan sarana produksi juga ditemukan bukti bahwa Industri Farmasi mengubah pemasok Bahan Baku Obat (BBO).
"Dan menggunakan BBO yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dengan cemaran EG pada bahan baku melebihi ambang batas aman yaitu tidak lebih dari 0,1 persen," ujar Penny dalam konferensi pers, Senin 31 Oktober 2022 dikutip dari suara.com.
Penny melanjutkan, atas ketentuan peraturan perundang-undangan, industri farmasi tersebut telah diberikan sanksi administratif berupa penghentian produksi, distribusi, penarikan kembali dan pemusnahan produk. "Pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah" kata dia.
Atas temuan itu, BPOM akan melakukan rencana tindak lanjut dengan melaksanakan gelar perkara bersama Bareskrim Polri guna menetapkan tersangka, melakukan pemeriksaan saksi-saksi lain, meminta keterangan Ahli Pidana dan Ahli Farmasi.
Berikut daftar produk obat sirup dengan cemaran EG dan DEG dari tiga industri farmasi:
1. Paracetamol Drops (PT Afi Farma)
2. Paracetamol Sirup Rasa Peppermint (PT Afi Farma)
3. Vipcol Sirup (PT Afi Farma)
4. Flurin DMP Sirup (PT Yarindo Farmatama)
5. Unibebi Cough Syrup (PT Universal Pharmaceutical Industries)
6. Unibebi Demam Drop (PT Universal Pharmaceutical Industries)
7. Unibebi Demam Syrup (PT Universal Pharmaceutical Industries)
Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri mengubah status perkara gagal ginjal akut dari penyelidikan ke tahap penyidikan pada PT Afi Pharma. Hal ini berdasarkan kepada pernyataan Pipit Rismanto, Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigjen Pol, saat dihubungi wartawan, dilansir dari suara.com, Selasa (1/11/2022).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, perusahaan farmasi ini telah melanggar pasal 98 ayat (1), (2) dan (3), Bagian Kelima Belas mengenai Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Pasal tersebut berbunyi:
"(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah."
Ancaman pidana terhadap perusahaan farmasi sebagai produsen obat yang telah terbukti mengandung cemaran EG dan DEG, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 190 ayat (2) yang berbunyi:
"(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
Melansir dari hukumonline.com, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani mengatakan tentang 3 catatan penting seputar kasus cemaran Etilen Glikol dan Dietilen Glikol penyebab Gagal Ginjal Akut pada Anak.
1. Seluruh Obat Sirup Beredar Secara Legal
Obat Sirup baik yang mengandung cemaran EG dan DEG maupun tidak merupakan obat yang memiliki izin edar secara legal. Kemenkes RI menyebut cemaran berasal dari 4 bahan baku tambahan yakni propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol yang berasal dari luar negeri atau impor.
Julius kemudian menyatakan bahwa telah terjadinya kelalaian oleh BPOM dan Kemenkes RI. “BPOM dan Kemenkes mengakui terjadi kelalaian dalam pengujian dan pengawasan,” kata Julius, Rabu (26/10/2022).
2. Wewenang Administrasi
Kewenangan administrasi impor ada di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian,. Sedangkan kewenangan untuk registrasi dan edar ada di Kementerian Kesehatan dan BPOM.
Hal ini berarti bahwa semua produk obat sirup yang beredar di masyarakat telah melewati proses mulai dari izin impor, pengujian laboratorium, dan izin edar.
3. Pertanggungjawaban Hukum
Apabila kasus obat sirup penyebab gagal ginjal akut anak dilakukan kilas balik ke belakang, maka seharusnya produk obat berbahaya yang kini beredar tidak lolos uji dan tidak sampai ke tangan masyarakat.
“Seharusnya produk tersebut tidak lolos screening,” tegas Julius.
Pejabat negara harus bertanggung jawab terhadap kelalaian yang menyebabkan korban gagal ginjal (penyakit) bahkan meninggal.
Selain itu, pertanggungjawaban pidana ini bersifat setara atau wajib baik pejabat negara maupun swasta.
Pertanggungjawaban secara pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 359 KUHP (meninggal) dan 360 KUHP (penyakit gagal ginjal) dan spesifik pada Pasal 196 UU No.36 Tahun 2009.
Bahkan, penelusuran lebih lanjut perlu dilakukan terhadap dugaan tindak pidana korupsi dalam peredaran obat sirup penyebab gagal ginjal akut.
“KPK juga apabila ditemukan unsur dugaan tindak pidana korupsi dalam proses administrasi untuk impor dan izin edar oleh swasta dan pejabat negara.” ujar Julius.
#SHOWRELATEBERITA
Writer: Nida Salma M
Sumber : suara.com,BPOM RI,hukumonline